Breaking News

Selasa, 12 Mei 2009

The Puppy Love

Aku masih kelas 6 SD, baru pindah ke kota ini. Tanpa teman, nyaris tak pernah keluar rumah. Tapi itu tidak berlangsung lama. Perlahan-lahan sosialisasi itu terjadi. Aku mulai berkenalan dengan satu dua anak-anak tetanggaku. Aku juga belajar kultur mereka, bahasa mereka, dan kebiasaan-kebiasaan mereka, serta semua aktivitas social yang terjadi di lingkungan mereka.

Suatu hari aku dikenalkan dengan seorang anak perempuan, namanya Gingin. Temanku, Nok, mengenalkan Gingin sebagai anak yang punya warung langganan ibuku membeli beras. Gingin anak yang cantik, manis dan lincah, badannya tinggi besar dibandingkan dengan anak seusianya. Nok mengenalkannya dengan bumbu “geus boga kabogoh!”.. Oooo. .. aku hanya mengangguk.

Tanpa terasa aku mengikuti ritme kegiatan social di lingkungan tersebut. Mulai dari main bersama, ngobrol bersama, atau sekedar ngalor ngidul, bermain di kali dan sebagainya. Nok sendiri cukup akrab denganku karena itu hampir semua kegiatan aku lakukan dengan dia. Hampir semua teman-teman yang kemudian aku kenal, dikenalkan olehnya. Salah satunya adalah Buyung.

Buyung, ya nama itu aneh. Dari sekian banyak teman yang dikenalkan denganku, sebagian besar adalah anak perempuan. Tapi buyung merupakan hal yang aneh karena dia ternyata lumayan sering bermain dengan perempuan. Penampilannya juga berbeda dengan kebanyakan anak lelaki di sekitarku. Kulitnya bersih, wajah dan rambut terawat baik, dan dia memang senang tersenyum. Wajahnya juga manis. Lantas Nok mengenalkannya dengan bumbu “Kabogoh si Gingin!!!”. Ooooo aku hanya mengangguk, dalam hati aku mikir “koq bisa siii.. mereka kan masih pada anak kecil??”.

Waktu berlalu, aku main dengan berbagai jenis teman, secara bergantian. Sampai tibalah saatnya bulan Ramadhan, libur panjang buat anak-anak dan kami punya banyak waktu untuk bermain.. bermain dan bermain…..

Tanpa disadari, tiba-tiba ternyata frekuensiku bermain dengan Buyung menjadi lebih sering dibandingkan dengan yang lain. Mulanya sekedar ngobrol, kemudian main sepeda, kemudian aku sering meminjam buku bacaan (seperti penyakitku umumnya, selalu mengandalkan teman untuk mendapatkan buku bacaan). Kemudian jika sekolah sedang masuk siang, buyung suka membawa sepedanya main ke rumahku. Kita sekedar ngobrol, mendengarkan radio, atau membaca bersama (yang terakhir yang paling sering aku lakukan). Lantas Buyung mulai rajin menjemputku untuk jalan bersama ke masjid, entah shalat subuh atau shalat Tarawih bersama. Kami berjalan berombongan karena jarak yang cukup jauh dan rutenya banyak melewati jalan yang cukup gelap. Buyung anak yang menyenangkan. Sifatnya ramah dan senang bercanda. Dia anak bungsu dari dua bersaudara. Dia juga rajin mengenalkan aku dengan beberapa teman sekolahnya (kami berbeda SD). Tapi yang herannya, kebanyakan temennya itu anak perempuan. Sepintas terkesan si Buyung ini ‘playboy kampung’.

Suatu hari, terjadilah hal yang membuat aku kaget dan tersentak. Suatu malam, seperti biasa anak-anak pulang shalat tarawih berombongan. Kami shalat di masjid dekat kampung kami, tidak ke masjid besar karena pertimbangan jarak. Untuk mencapai masjid tersebut, kami harus melewati jalan menyisir pinggir kali. Jalan itu sendiri cukup lebar, sekitar 1m yang dilapisi semen dan sisanya tanah. Tapi jalan ini cukup menyeramkan untuk ukuran anak-anak karena diapit oleh kali Cikapundung di sebelah kiri dan kolam yang cukup lebar di sebelah kanan. Di sepanjang kolam tersebut, ada beberapa pohon kihujan yang cukup besar, dengan jarak sekitar 20 meter antar pohon tersebut. Biasanya anak-anak selalu berjalan berdekatan melewati jalan tersebut, karena merasa agak takut, belum lagi ditambah gossip gossip mengenai hantu dan sebagainya.

Maka malam itu kami melewati jalan tersebut saling berdekatan. Karena jarak, maka kami terpisah menjadi 2 rombongan. Aku berjalan dengan buyung. Karena asyik mengobrol tanpa kusadari, ternyata aku agak tertinggal dalam rombongan terakhir, dan hanya berdua dengan Buyung. Tiba-tiba buyung menggandeng tanganku. Aku masih diam karena kupikir cuma sekedar kedekatan saja. Dia mulai bercerita dan kata-katanya sudah agak merayu, dia memuji potongan rambutku yang baru (kebetulan aku baru potong rambut). Dia bilang, dia senang sekali maindenganku, dan mengajak main ke suatu tempat besoknya. Genggaman tangannya makin erat, dia mulai menarik badanku makin mendekat ke arahnya. Terus terang aku takut dan deg-degan, sebab waktu itu aku tidak mengerti kemana arahnya. Kemudian dia bertanya, apa aku senang bermain dengan dia? Tentu aku jawab aku senang. Tiba-tiba dia mencium tanganku yang sedari tadi dia genggam. Aku kaget dan menarik tangan tersebut. Dia malah mengalungkan tangannya ke bahuku. Aku langsung menghindar. Kemudian dia berucap, “sun dong!”, sambil memiringkan wajahnya ke arahku. Tentu aku kaget luar biasa…!! Aku langsung melepaskan diri dari genggaman tangannya, dari rangkulannya dan secara reflek menjauh.

“eh.. jangan marah dong!”, dia tampak kaget.. Aku cuma diam dan mempercepat langkah dan berusaha menyusul yang lain.

“Eh.. tungguin dong.., jangan buru-buru gitu..!”, dia berjalan cepat menyusulku. Aku berhasil menyusul temanku lainnya. Tanpa aku duga, dia berlari menyusul dan segera menarik tanganku dan agak menekannya.

“eh.. jangan marah dong.. aku cuma bercanda”, dia setengah berbisik, seolah-olah menekankan agar tidak menceritakan ke teman-teman yang lain.

Aku seolah mengerti, diam dan tetap berjalan dengan yang lain. Hingga sampai ke tempat tujuan aku tetap diam seribu basa. Kami berpisah ke tempat masing-masing.

Malam itu aku gelisah. Terus terang perilaku Buyung itu sulit aku terima. Koq begitu ya..? Besoknya aku jadi bingung, bagaimana harus menghadapi buyung. Dan untungnya, buyung juga sepertinya mengalami hal yang sama. Dia menjadi canggung, dan berusaha meminta maaf. Tapi aku berusaha menghindar.

Sebelum bermain dengan tetangga, aku sering aktif mengikuti kegiatan anak-anak masjid. Aku cukup dekat dengan kakak pembina di kegiatan tersebut, bahkan sesekali aku sering main ke tempat tinggal mereka, untuk sekedar mengobrol. Setelah bermain dengan tetangga, aku jadi jarang mengunjungi kakak Pembina. Ketika kegelisahan terjadi, maka setelah beberapa hari kemudian aku putuskan mengunjungi salah satu kakak Pembina tersebut. Aku kemudian menceritakan apa yang kualami malam itu dengan Buyung. Aku merasa nyaman bercerita dengan kakak Pembina dibandingkan dengan kakakku sendiri, karena aku takut diomeli lebih lanjut. Tanggapan dari kakak Pembina membuat aku tersentak. Kakak Pembina dengan tegas menyatakan bahwa perilaku Buyung itu sangat berbahaya dan tidak layak untuk usianya, sehingga kakak Pembina menyarankan aku untuk menjauh. Jangan bermain lagi dengan Buyung.

Sejak saat itu, aku memang benar-benar menjauh. Sepertinya Buyung juga menyadari perubahan sikap sehingga dia tidak memaksa terus mendekati. Hanya kemudian sikapnya adalah menyerang dari belakang, dengan menyebarkan gossip-gosip negative. Tapi semua itu tidak kugubris. Setelah kejadian itu, aku tidak pernah akrab lagi dengan Buyung, bahkan dalam beberapa hal malah sering ribut. Misalnya, pernah aku menemukan bahwa buku-buku bacaan milikku yang dipinjamnya, ternyata tidak dikembalikan, bahkan disumbangkan ke perpustakaan RW atas nama dia sendiri. Kemudian, pernah juga ada yang menuliskan namaku dan nama Buyung di tembok dalam bentuk graffiti, tanpa jelas diketahui siapa yang menuliskannya. Belum lagi tuduhan negative dari beberapa teman-temanku yang menyangka aku ini ‘pacarnya’ Buyung.

Seiring dengan waktu, masalah itu terlupakan. Aku melanjutkan ke SMP, Buyung pun entah melanjutkan sekolah kemana. Bahkan aku juga pindah dari kampung itu. Aku dengar Buyung dan keluarganya juga pindah dari kampung itu, entah kemana.

Setelah itu…. Lama sekali aku tidak mendengar namanya dan bertemu orangnya. Bahkan aku nyaris melupakan bahwa aku pernah kenal dengan Buyung.

Sampai suatu hari, ketika aku sudah menikah dan bekerja, aku bertemu lagi dengan Buyung secara tidak sengaja. Waktu itu aku sedang berjalan pulang kembali ke kantor dari poliklinik perusahaan, setelah mengurus administrasi penggantian perawatan rumah sakit. Di halaman parkir, tiba-tiba namaku dipnaggil seseorang. Aku menoleh, ada seorang bapak memanggilku dari dalam mobil minibus warna merah. Aku hampiri perlahan sambil bertanya-tanya, siapa ya?

Dia turun dari kendaraan, terlihat bahwa kakinya sedang dibalut perban, dia mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.

“Pa kabar?”

“Baik”, aku menjawab sambil berfikir keras.. siapa ya..? Dia tersenyum. Samar-samar aku ingat senyumnya. Tapi siapa ya??

“Maaf pak, saya lupa, apa saya pernah kenal dengan bapak?”

“Saya Buyung, inget nggak? Temen kamu SD dulu.”, dia menjelaskan.

Oooooo .. langsung semua memoriku pulih.

“O.. buyung ya?? Iya saya ingat.. gimana kabarnya..? kok ada disini?”, dan berbagai pertanyaan standar lainnya.

Singkat kata kami bertukar cerita. Ternyata istrinya bekerja di perusahaan tersebut. Dia sendiri mengenalkan dirinya sebagai ‘wiraswasta’.

“Saya minta alamat kamu dong, atau nomor telpon?”, dia meminta identitasku.

“Aduh, saya nggak punya kartu nama, tapi ada nih.. kertas yang isinya nomor telponku”.

Akhirnya aku menyerahkan kertas kecil yang berisi namaku, nama departemen dan nomor telpon kantorku. Aku berpamitan dan kembali ke ruangan.

Kejadian itu sebenarnya hanya selewat dan mungkin aku lupakan, jika tidak ada kejadian lanjutannya. Lanjutannya adalah, suatu hari aku ditelpon. Ketika aku angkat, ternyata Buyung. Intinya dia menawarkan ingin menjual komputernya. Aku jawab aku tidak membutuhkan computer. Dia memaksa, barangkali aku bisa membantu menawarkan ke teman-teman. Aku hanya bisa menjawab “ya.. nanti saya coba”.

Besoknya, dia menelpon kembali, menanyakan apakah ada temanku yang minat membeli computer tersebut. Aku jawab, ternyata sampai saat ini belum ada. Kemudian dia tiba-tiba menyatakan ingin meminjam sejumlah uang.

“Aduh, maaf Buyung, saya nggak punya sejumlah uang itu. Saya ini baru dirawat dari rumah sakit, kemaren saya baru saja mengurus penggantian biayanya dan belum keluar hasilnya”. Aku memberikan alibi.

Kemudian dia dengan nada kesal dan memaksa, meminta aku meminjamkan uang seberapapun yang aku punya. Aku berdiplomasi untuk meminta waktu.

Setelah telpon ditutup, aku merasa gelisah dan terganggu. Koq bisa ya…, sudah lama nggak ketemu, eh.. sekali ketemu langsung mau pinjem uang.. rasanya gimana……gitu…

Akhirnya aku berfikir pelan-pelan.. Kemudian terlintas ide, bagaimana jika aku berbicara dengan istrinya saja? Lantas aku mulai menghidupkan computer, membuka database kepegawaian dan mulai mencari nama istrinya. Karena aku tidak mengetahui nama istrinya, jadi aku mulai mencari dari nama suaminya yaitu Buyung.. Cari..cari..cari.. ah ketemu..!! Dari database kepegawaian (karena kebetulan aku di department IT), aku mengetahui nama istrinya dan nomor telpon kantornya.

Aku segera menelpon istrinya. Secara perlahan aku menjelaskan kejadian dan apa yang diminta Buyung yang tidak dapat aku penuhi, beserta alasannya. Istrinya tidak banyak berkomentar dan hanya mendengarkan dengan baik. Kemudian istrinya berjanji akan menyampaikan kembali kepada Buyung. Telpon ditutup dan selesai.

Keesokan harinya, Buyung menelpon kembali. Kali ini dia langsung menelpon dengan nada marah.Rupanya dia keberatan aku menelpon istrinya. Dia menyatakan bahwa aku sudah merusak rumah tangganya, membuat dia ribut dengan istrinya dan mencampuri urusan keluarganya. Lho..lho..lho…. aku terkaget-kaget. Tapi aku tidak ingin menjawab karena aku merasa percuma menjelaskan berpanjang lebar. Aku hanya menjelaskan bahwa aku tidak bisa memenuhi permintaannya untuk meminjamkan sejumlah uang.

“Ya.. kalo nggak bisa, bilang aja nggak bisa, nggak usah bawa-bawa nama istri, apalagi pake nelpon istri segala. Saya kan jadi ribut, soalnya istri saya katanya dia jadi malu sama kamu”.

“Tapi kan kamu maksa, lagian aku nggak tau harus telpon kemana. Nah aku kan taunya istri kamu kerja disini. Jadi aku telpon istri kamu buat menjelaskan”

“ah.. kamu mah sembarangan banget si..”

“Ya terserah lah..!!”. Aku tidak menanggapi berkelanjutan. Telpon kututup, dan itulah terakhir kali aku melihat, mendengar dan bertemu dengan yang namanya Buyung. Selintas aku mengenang, ternyata Buyung yang masa kecilnya aku kenang sebagai ‘playboy kampung’ yang agak bermasalah, senang memanipulasi teman, ternyata kesan negative itu tetap ada sampai sekarang. Aku hanya berfikir, apakah ini hanya kebetulan, mungkin dia lagi benar-benar membutuhkan dana, atau jangan-jangan sudah menjadi kebiasaan? Entahlah….

Minggu, 10 Mei 2009

Switch from Toni to Bejo

Maret 1982.

Dua cewek abg, Tika dan aku, baru datang ke kelasnya. Kami kena giliran masuk siang jadi kami punya waktu agak santai sebelum bel mulai belajar berbunyi. aku tidak sebangku sama Tika, tapi kami sering pulang bersama-sama, jadi kami cukup akrab. aku duduk di bangku dan menyimpan tas di laci. Ketika ditarik, tangan aku menyentuh benda dan benda tersebut jatuh. Ternyata sebuah pulpen, pulpen merk 'Pilot', termasuk pulpen kesukaanku.

Aku memungut pulpen tersebut dan secara spontan mencobanya. Ternyata isinya masih banyak, dan ternyata..eh.. ada label nama tertera di bagian atas pulpen tersebut. Namanya, Toni, ada alamatnya lagi, Jl. Sukajadi, ada telponnya lagi. Segera aku panggil Tika dan memamerkan pulpen tersebut.

"Masih bagus nggak?"

"Masih banget"

"Ya udah, simpen aja"

"Eh.. ada labelnya ni.. apa kita balikin aja ya?"

"Toni, hm.. namanya keren juga ni.. jadi penasaran ya.. kayak apa orangnya".

Percakapan terhenti, pelajaran dimulai. Pulpen disimpan dengan baik dan sekaligus digunakan di beberapa pelajaran tersebut.

Pulpen tersebut tersimpan di tempat pensil beberapa hari, lupa dan sibuk, hingga suatu hari pulpen tersebut secara tak sengaja tergeletak di meja dan ditemukan Tika.

"Eh.. gimana ni pulpen.. jadi dipake aja atau mau dibalikin"

"Entahlah. belum kepikiran, kalo menurut kamu gimana?"

"Gini.. kita telpon aja orangnya, kan ada nomor telponnya tu, trus kita minta dia ambil pulpennya. Ngkali-kali aja orangnya keren, kayak namanya. Lumayan kan dapet kenalan"

"He.. bener juga...., tapi gimana ngomongnya.. kita kan nggak kenal.. malu!!"

"Ih.. bodo amat, kan dia juga nggak kenal kita, sekalian kenalan aja"

Iya ya.. ide Tika ini masuk akal juga. Kebetulan minggu itu kami sekolah pagi karena pergiliran jadwal satu minggu masuk pagi, satu minggu masuk siang. Sepulang sekolah, seperti biasa, aku mampir ke rumah Tika. Setelah istirahat sejenak, tiba-tiba Tika mengingatkan, mau nJoba telpon nggak ya?? Akhirnya aku setuju. Kami berjalan kaki kira-kira 10 menit menuju telpon umum. Waktu itu, telpon rumah masih jadi barang mewah buat kami-kami ini.

Sampai di gardu telpon, aku dan Tika berebut siapa yang akan menelpon karena kami sebenarnya malu. Tapi akhirnya aku beranikan diri menelpon. KUbilang ke Tika, pokoknya nanti kalo diangkat, kamu yang ngomong ya....

Setelah kring..kring berkali-kali, akhirnya telpon diangkat. Aku segera melempar ke Tika, dia segera menyisipkan sapu tangan. "Buat apa?"

"Biar nggak ketara suara aslinya, kayak di film-film itu lho", kata Tika berbisik.

"Halo.. bisa bicara dengan Toni?", Tika membuka suara.

"hm.. dari temen sekolahnya", Tika menjawab lagi.

Trus.. gimana Tika? "Lagi dipanggilin orangnya. Nih.. kamu sekarang yang ngomong!" cepet-cepet Tika menyerahkan gagang telponnya.

"Ih.. gimana sih.., kan awalnya udah ama kamu!"

"Gantian!! nih. cepetan, keburu orangnya ngomong"

"Halo..." terdengar suara cowok di sana.

"eh.. Halo.. ini dgn anak kelas 2F. Gini lho, waktu itu kita nemuin pulpen yang ada nama kamu. Apa bener kamu pernah ketinggalan pulpen di kelas?", akhirnya aku bicara juga.

"Nggak tau tu.. udah lupa.. pulpen apaan sih?"

"Pulpen pilot, warna biru"

"Ntar.. ketinggalannya kapan? di kelas apa?"

"Udah rada lamaan sih. kira-kira seminggu yang lalu. Ketinggalannya di kelas F", aku menjelaskan.

"O.. mungkin ada yang pinjem... temen saya kelas 3F". Suara di seberang menjelaskan.

"Lha kamu sendiri kelas apa?"

"Aku kelas 3B, kamu?"

"Kelas 2F, yang kalo pagi dipake sama kelas 3F", aku menjelaskan lagi.

"Trus ni pulpen mau dibalikin nggak?", aku iseng bertanya.

"Terserah deh, mau dibalikin boleh, nggak juga nggak apa-apa". Toni menjawab.

"Oo.. dasar orkay, pulpennya udah kebanyakan ya?", aku iseng lagi nyeletuk.

"Bukannya gitu, ya deh.. kamu balikin deh.. tapi kapan ketemunya? dimana?", Toni akhirnya terpancing juga.

"Ya udah, besok aja ya, aku tunggu di dekat ruang piket, kira-kira jam 12.30 an", aku menjanjikan.

"Eh. ntar dulu.. kamu siapa? trus cara aku ngenalinnya gimana?"

"aku aku, kelas 2F, ciri-cirinya, besok aku pake bondu warna biru", aku menjelaskan asal.

Percakapan ditutup. Kami cekikikan membayangkan keisengan kami. Baik aku dan Tika tidak pernah mengenal siapa Toni ini dan apa kami akan benar-benar menemui Toni besok? Entahlah.

Besoknya, aku memutuskan ingin ingkar janji, aku tidak menggunakan bondu biru, aku tidak berdiri di tempat yang sudah aku tentukan. Tapi aku berdiri di tempat lain, yang bisa memandang leluasa ke tempat tersebut, karena sebenarnya aku dan Tika hanya berniat iseng. KeTika kelas bubar, ternyata tempat tersebut penuh sekali. Banyak orang silih berganti berdiri di tempat yang sudah aku tentukan tersebut. Sulit mengenali, mana yang namanya Toni?

Sorenya, pulang sekolah, aku dan Tika menelpon Toni kembali, dengan judul "meminta maaf"

"Eh.. maaf ya, kemaren kita kesiangan, jadi nggak bisa seperti yang dijanjiin. Maaf ya..??", suaraku bernada menyesal, Tika cuma nyengir didepanku.

"Trus kapan dong mau ngebalikinnya?"

"Gini aja deh, 2 hari lagi aja, pas hari rabu", aku buat janji lagi.

"Dimana?", tanya Toni.

"Nanti aku tunggu di depan perpustakaan", aku berjanji lagi.

"Oke", Toni setuju.

Besoknya, hari Selasa, aku datang lebih pagi ke sekolah, meskipun aku masuk siang. Karena hari itu kami ada olahraga yang biasanya dijadwalkan lebih pagi. Setelah berolahraga sebentar, aku memutuskan mampir untuk jajan es sirop. Aku jajan sendirian, karena Tika ada jadwal latihan eskul Paduan suara. Aku memesan sirop dan mulai membaca majalah "Hai" yang aku bawa. Sewaktu aku menikmati es sirop sambil membaca, tiba-tiba masuk seorang cowok ke tenda es tersebut. Perawakannya tinggi kurus, agak jerawatan, canggung, membawa tas ransel biru. Sebetulnya aku tidak akan memperhatikan cowok tersebut, kalau saja si Ibu pedagang es tidak menyapanya.

"Eh.. Cep Toni, mau beli es seperti biasa?", si Cowok mengangguk.

Ah.. Toni mana nih.. , aku penasaran.

Dia duduk, meletakan tasnya pas didepanku. Mengeluarkan buku catatannya dan mulai membaca. SEpertinya persiapan mau ulangan. Sewaktu bukunya ditutup, karena pesanan es-nya datang, aku melirik ke cover buku tersebut. Aku tersentak, melihat label nama yang persis seperti label nama yang ada di pulpen Pilot yang aku temukan. Ooo.. jadi ini yang namanya Toni..

Selama aku menghabiskan es campur, demikian juga Toni, datanglah beberapa teman-temannya. Aku sempat melihat sepintas profil teman-temannya. Kelihatannya mereka lumayan borju dibandingkan aku dan Tika. Setelah beres menghabiskan es campur, aku buru-buru menghilang dari warung tersebut dan segera berlari mencari Tika.

"Tika, aku udah tau yang mana yang namanya Toni"

"O ya..? kapan? dimana? kamu janjian ketemu lagi? katanya besok?"

"Nggak ketemuan, tapi nggak sengaja nemu di warung es campur"

"Trus orangnya kayak gimana? keren nggak?"

"Keren si.. lumayan, tinggi, putih, cakep ya.. sedeng lah.., banyak jerawat!"

"Wah lumayan tu.. , trus dia tau kamu disitu"

"Ya enggak la.., masak aku ngaku?"

"Trus.. besok jadi gimana? Tetap jadi ketemuan di perpustakaan?" Tanya Tika.

"Enggak, aku nggak bakalan nemuin dia!" Jawabku

"Lho kenapa?" Tika penasaran.

"Nggak level, malu, dia itu cowok borju, bukan kelas teri kayak kita-kita ini. Kamu baca kan alamatnya di label itu? Waktu itu aku pernah lewat di depan alamat tersebut, waktu pulang sekolah bareng-bareng geng Tati. trus aku tanya-tanya juga ke Tati. TErnyata dia itu termasuk jenis makhluk gedongan, nggak level ah sama aku", jawabku menjelaskan.

"O.. gitu.. jadi kamu nggak jadi kenalan sama dia?"

"Nggak ah.. malu", jawabku

"Trus pulpennya gimana? mau dibalikin nggak?"

"Ya aku balikin, tapi aku cari jalannya dulu"

Siang itu, aku berfikir keras, bagaimana mengembalikan pulpen tersebut tanpa harus ketemu Toni, karena aku sudah memutuskan tidak akan menemui Toni. Selang beberapa pelajaran aku lewati sambil melamun, memikirkan jalan keluarnya. Tiba-tiba terlintas ide, Tati.. ya, Tati..!! Kenapa nggak lewat Tati ya..! Kan dia kenal, mereka tetanggaan, dalam artian buntutnya rumah Toni menghadap gang depan rumah Tati. Segera aku menghampiri Tati.

"Eh... Tati, inget nggak kemaren waktu aku tanya itu rumah siapa, trus kamu bilang itu rumah Toni dan kamu kenal anaknya"

"hm..iya trus kenapa?" Tati keheranan

"Kamu tanya kan, kenapa aku tiba-tiba tanya Toni, alasannya adalah karena aku nemuin pulpennya di kolong mejaku minggu lalu. Dari situ aku tau nama dan alamatnya"

"Trus, kamu mau aku kenalin sama orangnya? Orangnya keren lo.. baek lagi!!"

"enggak!! Aku udah tau orangnya, justru itu aku jadi nggak mau kenalan"

"Kenapa.. orangnya baek kok", Tati mendukung

"Bukan soal baeknya, udahlah.. Pokoknya aku nggak mau kenalan sama dia!", aku memutuskan.

"Tapi aku mau minta tolong nih.. mau nggak kalo aku titipin pulpennya sama kamu. Kamu aja lah yang ngembaliin pulpennya ke dia"

"Ye.. koq gitu?? Kenapa"

"Ah udahlah.. pokoknya aku nggak mau mbalikin pulpen tersebut langsung. Malu!"

"Ya udah, nggak usah dibalikin aja"

"Jangan, aku udah janji mau balikin"

Akhirnya setelah aku desak-desak, Tati bersedia mengembalikan pulpen tersebut. Hh..lega rasanya.

Besoknya Tati melapor bahwa kemaren sore pulpennya sudah dia kembalikan.

"Toni bilang, salam buat kamu, dia bilang kenapa nggak dibalikin sama kamu sendiri?"

"Trus kamu jawab apa?"

"Aku bilang, kamu nggak sempet".Doooh, sok sibuk..!!

Aku lega, tapi diam-diam muncul rasa nggak enak juga. Jadi besoknya aku telpon lagi Toni, sekedar menjelaskan dan meminta maaf mengapa pulpen tersebut aku titipkan ke Tati.

"Nggak apa-apa, kebetulan saya tetanggaan sama Tati. Tapi jadinya aku nggak kenalan sama kamu dong!"

"Ya, ntar-ntar aja deh.. kapan-kapan", jawabku.

Selesai??? Belum..!!

Setelah beberapa hari berlalu dengan tenang.. tiba-tiba ketika aku bersantai dalam kelas menunggu mulai pelajaran kelas siang itu, Tati menghampiriku.

"Tuh.. dicari Toni!"

"Mana?"

"Tuh... di pintu!!"

Plas...., aku panik, tapi no way out. Jadi aku tidak punya pilihan selain keluar menemui Toni. Tadinya aku mau narik Tika untuk menemani. Tapi ternyata dia sudah melarikan diri terlebih dahulu. Sialan!!

Terpaksa aku menemui sendirian. Ternyata Toni tidak datang sendiri, di sebelahnya ada temannya, dengan tampang urakan, seragam urakan dan sama jerawatannya, tapi temannya ini ternyata aktif dan lincah.

"Nih.. si Toni nih.. pengen kenalan aja minta anter.., gih.. sono salaman", temennya yang mulai bicara.

Toni senyum-senyum, mengulurkan tangannya malu-malu, mengajak salaman. Aku menyambut, juga malu-malu.

"Oo. jadi ini to yang namanya ......, yang nelponin kamu terus.., Iya Ton??", goda temannya.

Diih.. sialan ni orang.. Siapa lagi dia? Aku nggak ngerasa punya urusan dengan dia.

"O.. jadi ini kamu to orangnya. Thanks ya udah balikin pulpen aku. Pulpen itu dipinjem temenku, dia ada di kelas ini. O ya. ini temenku, namanya Bejo", Toni balas menJodorkan temannya. Aku bersalaman lagi dengan Bejo.

"Nah.. gitu dong Ton, ngomong..!! ngomong..!! Kamu jangan suka malu-malu gitu..!! Ini ya ......, kalo aku suruh nemuin kamu, katanya malu, padahal tiap hari dia ngomongin kamu terus..!". Bejo nyerocos.

"Ah masa!!", aku pura-pura heran.

"Eh.. boleh nggak kapan-kapan Toni maen ke rumah kamu? Rumah kamu dimana sih?", lagi-lagi Bejo yang nyerocos.

"Ah.. rumah saya jauh", aku menjawab sekenanya. Untunglah percakapan terhenti, bel tanda masuk berbunyi, cepat-cepat aku pamit. Hh.... save by the bell.

"Ya udah, kapan-kapan ngobrol lagi ya!!", Aku cuma mengangguk, sekilas aku melirik bordiran nama di seragam Bejo. Hm... namanya aneh.. Tapi orangnya... idih... heboh banget deh..!!

Sejak itu, aku hampir tidak pernah menelpon Toni lagi. Malu dan rasa tidak enak bercampur baur. Aku belum pernah mengusik orang seperti itu. Tapi, sejak itu, beberapa kali keTika aku sedang menunggu pergantian kelas, aku bertemu Toni dan Bejo, rupanya mereka selalu berdua, setiap ketemu, selalu Bejo yang menyapa duluan. Aku pikir, karena Toni ini anak yang pendiam dan pemalu.

April 1982

Entah apa yang terjadi, yang jelas aku tidak merasa memperpanjang ceritaku mengenai Toni ini. Rupanya, tanpa sepengetahuanku, cerita ini berkembang luas. Seperti dugaanku, ternyata Toni termasuk cowok selebritis, atau tipe yang sering diperebutkan oleh para cewek selebritis. Hal ini baru aku ketahui setelah di suatu siang, aku didamprat oleh salah satu cewek selebritis yang dengan lantangnya menuduh :

"Eh.. , elu tu jangan seenaknya ngerebut cowok gue dong??"

"Apaan sih.. siapa??? yang mana??" aku keheranan

"Alaaa, pura-pura bego lagi.. tu si Toni elu godain melulu, elo telponin melulu sampe kesengsem sama elo, padahal tadinya kan dia itu naksirnya ama gue!!"

"Aduh.. suer deh.. gue nggak ada apa-apanya sama si Toni"

"Alaaa.. nggak ngaku lagi...!!" si cewek selebritis melontarkan tuduhannya dengan gencar.

Setelah tuduhan tersebut, aku merasa perlu klarifikasi. Jadi aku telpon Toni siangnya. Toni hanya menjawab,

"Nggak kok, aku nggak punya pacar, aku nggak bikin gosip kalo kamu nelponin aku terus, mungkin si Bejo". Ah.. ini dia biang keroknya.

Jadi, suatu siang, seperti biasa, waktu Toni dan Bejo lewat dan Bejo menyapa, aku langsung nyerocos..

"Jo, kamu itu gimana sih. bikin gosip ngaco aja! Tuh aku dimarahin sama orang, dikira aku ngerebut Toni".

"Dih..sapa tuh?? Toni itu emang cuma suka sama kamu tau??" Jawab Bejo, Toni cuma berdiri senyum di sebelahnya.

"Apaan sih kamu? Ngaco!!", Toni cuma menukas, aku cepat berlalu, demikian juga Toni.

Kemudian ada pencalonan ketua OSIS, dan aku terheran-heran membaca salah satu kandidatnya adalah 'Bejo'. Dih.. ni anak nekad juga ya..!!

Jelas Bejo kalah dalam pemilihan ketua Osis tersebut, aku juga hanya berkomentar ke temenku. "Aku nggak akan milih dia, anaknya urakan gitu, mana pantas jadi ketua Osis".

Kemudian, waktu berlalu, aku lupa semua cerita awal tadi. Sesekali aku bertemu juga dengan mereka berdua. Hingga suatu hari, saat aku sedang santai menunggu pergantian kelas, tiba-tiba Bejo menghampiri.

"Eh..kamu kemana aja??? Toni sakit tau??"

"ah.. masa? Sakit apa??", aku kaget. Baru teringat olehku, beberapa hari ini aku memang jarang ketemu mereka.

"Tabrakan, dia ketabrak motor di depan sekolah ini. Masa kamu nggak tau??"

"Bener.. aku nggak tau!!", dan memang demikian sebenarnya, karena aku memang kurang mengikuti info kejadian-kejadian di kelas lain.

"Trus gimana sekarang? dirawat atau gimana?", aku jadi penasaran.

"O.. udah di rumah si. cuma belum sekolah, Tau nggak?? pas ketabrak tuh dia nyebut nama kamu"..

"ah.. ngaco!! ngarang kamu Jo!", aku yakin sekali, yang terakhir ini cuma bumbu si Bejo aja.

"Tapi bener lho.., dia itu kangen sekali pengen ketemu kamu!", gombal juga ni.. segera aku bubar dari pembicaraan yang menjurus ke pergombalan tersebut.

"eh.. telpon Toni ya..!! Jangan lupa!!", teriak Bejo waktu aku tinggalkan pergi.

Diam-diam, aku kepikiran juga. Jadi sore itu sepulang sekolah aku telpon Toni, sekedar say hello dan berbasa-basi.

"Kata Bejo kamu ketabrak ya??"

"iya.."

"trus sekarang gimana keadaannya?"

"Udah baikan, cuma masih pake gips"

"O syukurlah..", aku menutup telpon setelah berbasa-basi sedikit.

Beberapa hari kemudian, aku ketemu lagi dengan mereka berdua. Toni dan Bejo. Kelihatan tangan Toni masih dibalut perban.

"Tuh kan gue bilang juga apa?? Makanya kamu tu harus sering telpon Toni. Begitu kamu telpon, Toni langsung sembuh tuh !!", Bejo langsung nyerocos. Aku cuma senyum dan langsung berlalu.

Mei 1982

Sejak itu, entah beberapa kali aku berpapasan, dan aku sudah tidak mengingat lagi apa saja yang diucapkan oleh Bejo, yang jelas tiap kali ketemu, selalu Bejo yang bicara. Toni tidak pernah terdengar suaranya. Aku berasumsi, Toni ini memang anak yang pemalu dan pendiam.

Sekali waktu ada pekan lomba di sekolahku. Aku dan teman-teman mengikuti lomba baris berbaris. Aku membawa kamera poket punya kakakku, ingin berfoto bersama teman-teman. setelah selesai lomba kami beristirahat di podium. Tiba-tiba muncul Bejo, kali ini tanpa Toni.

"Lagi ngapain elu disini?", aku langsung negur duluan.

"Ya lagi nonton kamu lah..", jawabnya, bikin aku kaget. "Tadi aku ajakin Toni, tapi dia nggak mau!".

"Aku paling nggak bisa baris-berbaris", jawabku membuka pembicaraan.

"Trus kenapa ikut?"

"Ya sekedar berpartisipasi lah.. ,kamu ikut lomba apa, Jo?"

"Nggak, rumahku kan deket sini, jadi sekalian maen", Ooo, pantesan dia udah nggak pake seragam lagi, mungkin sudah pulang ke rumah dulu.

"O.. di jalan apa?"

"Tuh. jalan itu?" dia menunjuk salah satu jalan.

"eh.. aku bawa kamera. di foto ya... buat kenang-kenangan!"

"Boleh..!!", Bejo langsung pasang gaya, klik..klik.. sudah.... beres.

beberapa hari kemudian negative nya aku cetak, eh.. ternyata foto Bejo jelek hasilnya, buram. Tapi lumayan keliatan lah wajahnya yang nyentrik dan aneh itu.

Tanpa disadari, ternyata perhatianku bergeser, dari Toni ke Bejo, Entah kenapa nama ini lebih sering muncul dibandingkan Toni. Apa karena dia lebih sering menyapa? Bahkan kemudian aku tau biodatanya seperti tanggal lahir dan alamat rumahnya. Itu karena aku terlibat sebagai kepanitiaan di OSIS. Pernah sekali aku mengirimkan surat ke alamatnya, kalo tidak salah, aku isi dengan hasil cetakan foto yang buram itu, atau sekedar kartu lebaran ya? Aku lupa lagi. Sepintas pernah lewat pikiran di kepalaku. Bejo ini menarik juga ya...? Tapi penampilannya itu... ampun.... nakutin aku...!! Coba ya... rambut awut-awutan, baju seragam digunakan sembarangan, gaya bicara juga seceplosnya.

Juli 1982

Lalu Bejo yang kelas 3 mengikuti ujian akhir. aku yang kelas 2 mengikuti ujian kenaikan kelas. Sejak itu, aku tidak pernah bertemu Bejo dan Toni lagi. Aku hanya mendengar kabar bahwa mereka meneruskan ke SMA yang berbeda.

Kemudian datanglah hari perpisahan. Karena sesuatu dan lain hal, kami mengadakan perpisahan dengan kelas 3 agak terlambat, artinya, dilakukan setelah mereka diterima di SMA. Aku sebagai panitia sekaligus pengisi acara. Aku ikut sebagai pemain dalam tim drama. Selesai pertunjukan, aku berkeliling membagikan konsumsi kepada para lulusan. Sampailah aku di tempat duduk Bejo. Setelah memberikan konsumsi, dia menahan tanganku agak lama, "eh.. kamu nanti jangan sombong ya..!!". "Kamu nanti mau ke SMA mana? ke SMA aku aja yuk?", tapi aku ndak menjawab.

The missing Link...

Setelah itu aku tidak pernah bertemu Bejo lagi. Pernah aku mendengar isyu-isyu tidak jelas sumbernya yang intinya menginformasikan bahwa Bejo itu nggak mau ngedeketin aku (lagi) karena katanya aku ini 'terlalu pinter' buat dia. Ha...?? Piraku??? Aya-aya wae.. jelas aku nggak percaya isyu ngaco tersebut. Pastilah sumbernya dari para selebritis gosip disekolahku.

Sejak itu, aku nggak pernah ketemu Bejo lagi, Toni juga. Sekali dua pernah ketemu di angkot, juga pernah papasan di jalan. Sekali waktu, ketika SMA, aku ketemu Bejo ketika latihan baris berbaris di dekat rumah temanku. Bejo lewat naik motor, motornya agak ngebut, dibelakangnya ada cewek membonceng. Dia tidak melihatku karena aku menggerombol dengan teman-teman. Tapi aku sempat melihatnya dan tau itu Bejo karena motornya agak melambat di persimpangan jalan.

Kemudian kenangan itu terputus.. putus.. tus...tus…. melayang entah kemana.. hingga suatu hari.. ketika aku membaca potongan berita di majalah tempo, Nama Bejo disebut.. dalam judul berita 'Jendral .. Mantu'. Namanya yang khas, meski ragu-ragu, tapi aku yakin ini adalah Bejo yang sama. Sempat terlintas di pikiranku, “Hebat juga ni orang.. nggak nyangka bakal jadi tentara”. Karena terlihat di fotonya sang pengantin berseragam tentara, tapi seperti apa tampangnya, entahlah, foto itu terlalu kecil dan nggak jelas.

Kemudian nama itu menghilang lagi.. lang..lang.. entahlah.. tak terbesit sedikitpun dalam pikiranku bakal ketemu lagi.

FB era..!

Sampe suatu hari.. dunia facebook membuka jalan!! Adalah temen kerjaku dulu, semasa di IT, yang memposting nama tersebut di situs FB-nya. Ternyata Bejo adalah teman SMA nya. Aku tersentak, ada kilatan kecil di pikiranku. Apa bener ini Bejo yang sama? Apa dia masih inget aku ya? Jadi, isenglah aku nanya ke temenku tsb dan iseng juga aku tinggalkan pesan ke account Bejo di FB tersebut.

Lamaa... tak ada respon, tak ada jawaban, dan aku hampir berasumsi.. jangan-jangan ni orang lupa dengan aku dan menganggap aku angin lalu. Temen FB ku cuma menjawab, tanya aja langsung ke orangnya, dan menginformasikan bahwa Bejo ini sekarang menjadi tentara, mungkin sibuk mengemban tugas negara. Lagian.. masa si tentara maen FB? Ya udah.. maka aku melupakannya.

Suatu hari, setelah hampir sebulan tidak ada respon, tiba-tiba ada confirm request, kemudian ada balasan message, dan satu hari, atas takdir baik, aku ketemu dia onlen. Maka dengan hati-hati aku bertanya-tanya. Pertanyaan standar, basa-basi. Ndak taunya dia langsung memasang jurus jitu, menembak, membuka lembaran lama, memuaskan kepenasaran dia. Bejo langsung menghujani dengan pertanyaan dan asumsi, bahwa "bener kan.. aku masih dihatimu?". Aku jawab apa? Ya iya lah.. makanya aku masih inget dia juga, dalam hal sebagai temen yang pernah berkesan.

Setelah chat pertama, aku menghabiskan kepenasaran untuk explore informasi mengenai dia. baik dari post di FB maupun google. Dari sana aku mendapatkan gambaran seperti apa kehidupan yang dia jalani selama ini. Ternyata hidupnya seperti air mengalir deras, bayangin, sejak taman SMA, masuk AKMIL, trus menamatkan S1 dan S2 di perguruan militer di Amrik, trus sekarang menyandang pangkat XXXX pula.. alamaaaak.. nggak nyangka aku!! Dalam pikiranku yang berpangkat gitu mestilah sudah kakek-kakek..! Trus sekarang dia lagi didinaskan di belahan bumi mana.. gitu!!. Kayaknya sebagain masa dinas dia berkelana ke tempat-tempat jauh deh. Do.. keliatannya enak amat ni orang!! Yang jelas dunianya memang jauh berbeda dengan duniaku. Jadi kita hidup di dunia yang berbeda.

Ternyata itu bukan chat terakhir. Bejo nggak berhenti sampe disitu. Besok-besoknya dia chat lagi. Dia mulai mencecar dengan berbagai kepenasaran yang selama ini dia simpan. Dia bilang aku pernah nulis surat ke dia. Surat apa? aku juga udah nggak inget. Dia bilang, suratnya masih dia simpan sampe sekarang, isinya juga masih dia ingat dengan baik. Duh.... terus terang aku jadi bimbang. Maksudnya apa ya? Jadi aku putuskan malam itu chat habis-habisan, membahas semua persepsi dan dugaan masa lalu. Intinya dia nggak mau ngaku kalo dulu dia (mungkin) juga suka dengan aku, dan menyalahkan aku, karena katanya "gimana aku bisa tau, kalo kamu selalu menghindar setiap ketemu", dan jawaban diplomatis “waktu itu aku masih puber, belum berani suka dengan orang”. Lha trus kenapa dia menjadi sedemikian penasarannya. Dia juga bilang, bahwa dia merasa takut, takut menghadapi aku, karena merasa dirinya nggak smart and clever. Aku juga bilang, aku juga takut, takut sama portofolionya, takut sama environmentnya, takut sama semua atributnya. Jadi, itulah sebabnya dulu kita cuma bisa sekedar say hello dan yang tidak pernah aku sangka, ternyata kenangan itu bisa mengendap berpuluh-puluh tahun dalam memori seseorang.

So.. welcome back Bejo.. welcome back to my life, and lets fill it with many color of friendship.