Okey, daah lama banget pengen bikin ulasan tentang buku ini. Buku yang pernah aku miliki jaman dahulu kala, ketika masih muda belia, tapi masih tetap aku ingat sampai sudah tua renta.. ha..ha..ha.. Sayangnya, edisi bahasa Indonesianya sekarang sudah sussaaaah banget dicari. Dulu waktu pertama beli, pertama baca, blank..blass nggak ngerti apa-apa. Baca lagi, dua kali, tiga kali, sampe akhirnya aku bisa dikit-dikit paham. Ditambah dengan keahlian aku mendramatisir, maka, jatuh cintronglah aku sama buku ini. Judulnya "The Little Prince", karangan Antoine de Saint-Exupéry. Naah ini salah satu bagian favoritku, yang terus aku inget sampe saat ini. Supaya enak, ya aku terjemahin bebas aja laah ya... meski nggak ijin dulu sama oom Antoine.. maaf ya Oom, aku share full chapter disini, supaya dapet "ambience" nya, nggak sekedar potongan quotes aja seperti yang banyak bertaburan di mbah google.
Dari buku "The Little Prince", Chapter 22
[Translate suka-suka by flash]
Suatu pagi, pangeran kecil bertemu dengan seekor rubah.
“Selamat pagi”, kata si rubah
“Selamat pagi”, pangeran kecil menjawab dengan sopan, sambil melihat
sekeliling, tapi dia tidak melihat apapun.
“Aku di sini, di bawah pohon apel”, terdengar suara kecil.
“Kamu siapa?”, tanya pangeran kecil, dan lanjutnya “kamu terlihat cantik
sekali”
“Aku seekor rubah”, kata rubah.
“Ayo kesini, main denganku”, ajak pangeran kecil. “Aku sangat tidak
gembira”.
“Aku nggak bisa main dengan kamu”, kata si Rubah. “Aku belum
dijinakkan”.
“Ah! Maaf kalo begitu”, kata pangeran kecil.
Tapi, setelah berfikir sesaat, pangeran kecil bertanya: “Apa yang
dimaksud dengan ‘dijinakkan’?”
“Kamu bukan orang sini ya?”, kata si Rubah. “Apa yang kamu cari
disini?”
“Aku mencari manusia”, kata pangeran kecil. “Apa artinya
‘dijinakkan’?”
“Manusia”, kata si Rubah. “Mereka punya senjata, dan mereka memburu.
Itu sangat mengganggu. Mereka juga memelihara ayam, hanya hal itu yang menarik
buat mereka. Apa kamu mencari ayam?”
“Nggak”, kata pangeran kecil. “Aku nyari teman. Apa artinya
‘dijinakkan’?”
“Itu merupakan tindakan yang sering sekali diabaikan”, kata si Rubah.
“Itu artinya membangun ikatan”.
“Membangun ikatan?”
“Ya seperti itulah!”, kata si Rubah. “Buat aku, kamu bukan siapa-siapa,
hanya anak kecil, sama seperti ratusan atau ribuan anak kecil lainnya. Aku
nggak perlu apa-apa dari kamu. Dan kamu juga, nggak perlu apa-apa dari aku.
Buat kamu, aku bukan apa-apa, sama seperti ratusan atau ribuan rubah lainnya.
Tapi, kalo kamu menjinakkan aku, maka kita akan saling membutuhkan. Bagi aku,
kamu akan menjadi unik di dunia ini. Bagi kamu, aku juga menjadi unik di
dunia…”
“Ooooh, aku mulai ngerti…”, kata pangeran kecil. “Aku pernah kenal satu
bunga….. Aku pikir dia sudah menjinakkan aku…”
“Mungkin aja”, kata si Rubah. “Di bumi ini orang melihat banyak hal.”
“Tapi, ini bukan di Bumi”, kata pangeran kecil
Si Rubah tampak terkejut, dan sangat ingin tahu.
“Di planet lain?”
“Ya”
“Apakah ada pemburu di planet tersebut?”
“Nggak”
“Aah, menarik sekali!! Apakah disana ada ayam?”
“Nggak”
“Nggak ada yang sempurna,” desah si Rubah.
Tapi, si Rubah kembali ke idenya semula.
“Hidupku sangat monoton.” Kata si Rubah. “Aku memburu ayam, manusia
memburuku. Semua ayam keliatan sama dan semua manusia juga sama. Dan,
akibatnya, aku jadi bosen. Tapi, jika kamu
menjinakkan aku, itu seolah-olah bagaikan matahari bersinar dalam
kehidupanku. Aku akan tau suara langkah yang berbeda dengan yang lain.
Langkah-langkah yang membuat aku buru-buru keluar dari lubang
persembunyianku. Langkahmu akan
memanggilku, seperti musik, memancing aku keluar dari sarang. Dan lihatlah…
kamu lihat ladang gandum disana? Aku nggak makan roti. Gandum nggak ada gunanya
buat aku. Ladang gandum itu nggak ada artinya buatku. Dan itu menyedihkan.
Tapi, lihat rambutmu yang berwarna keemasan seperti ladang gandum!! Coba
pikirkan.. betapa indahnya jika kamu sudah menjinakkan aku!! Ladang gandum,
yang juga berwarna keemasan, akan membuatku teringat akan kamu. Dan aku akan senang
mendengarkan angin bersemilir di tengah tangkai gandum….”
Si Rubah memandang pangeran kecil, agak lama….
“Ayooo.. jinakkan aku..!!”, kata si Rubah.
“Aku ingin sekali, sangat ingin!!”, kata Pangeran Kecil. “Tapi aku
nggak punya banyak waktu. Aku punya
banyak teman yang harus aku temui, dan harus memahami banyak hal”.
“Orang hanya memahami apa-apa yang sudah dia jinakkan”, kata si Rubah.
“Manusia nggak punya cukup waktu memahami semuanya. Mereka membeli sesuatu yang
sudah tersedia di toko-toko. Tapi, nggak ada satu tokopun dimana seseorang
dapat membeli persahabatan, oleh karena itu, orang-orang nggak bisa lagi punya
sahabat. Kalo kamu ingin punya teman,
sahabat, ayo.. jinakkan aku..!!”
“Apa yang harus aku lakukan, untuk menjinakkan kamu?” kata pangeran
kecil.
“Kamu harus sabar,” kata si Rubah. “Pertama-tama, kamu akan duduk pada
jarak yang agak dekat- yaa nggak terlalu dekat- di rumput. Aku akan melirik
kamu, dan kamu bakal diem aja. Nggak usah ngomong apapun. Kata-kata sebenarnya
sumber kesalahpahaman. Terus, kamu duduk
semakin dekat, semakin dekat, setiap harinya…”
Besoknya Pangeran Kecil kembali lagi.
“Sebaiknya kamu kembali pada jam yang sama,” kata si Rubah. “Jika,
misalnya, kamu setiap hari datang jam empat sore, maka menjelang jam tiga, aku
akan mulai gembira. Aku akan merasa makin gembira dan gembira setiap detiknya
menjelang jam empat. Ketika jam empat tiba, aku sudah sangat siap untuk
melompat-lompat. Aku ingin menunjukkan kepada kamu betapa gembiranya aku!! Tapi
kalo kamu datang sesukamu, aku nggak tau kapan hati ku siap untuk menemui kamu…
orang tuuh harus melakukan sesuatu dengan ritme tertentu…”
“Apa itu ritme…?”, tanya Pangeran Kecil.
“Naah, itu dia, satu lagi hal yang sering diabaikan orang,” kata si
Rubah. “Ritme adalah sesuatu yang membuat satu hari berbeda dengan hari
lainnya, satu jam berbeda dengan jam lainnya. Itulah ritme. Misalnya, kebiasaan
para pemburuku, setiap Kamis mereka mengadakan pesta dansa. Maka, Kamis menjadi
hari yang indah bagiku!! Aku bisa jalan-jalan di hutan bahkan sampai dekat
kebun mereka. Tapi, kalo para pemburu itu berdansa sesuka-sukanya, nggak jelas
kapan waktunya, maka setiap hari akan sama seperti hari lainnya, dan aku jadi
nggak punya hari libur dan hari bersenang-senang sama sekali”.
Maka… akhirnya… si Pangeran Kecil menjinakkan Rubah. Sampai akhirnya datanglah waktu mereka harus
berpisah.
“Ah…aku pasti menangis!!” kata si Rubah.
“Lhaa, itu kan salah kamu sendiri,” kata Pangeran Kecil. “Aku nggak
pernah menawarkan hal-hal yang membahayakan kamu, tapi kamu malah pengen aku
menjinakkan kamu…”
“Yaa, begitulaaah…”, kata si Rubah.
“Tapi kamu sekarang malah mau nangis!”, kata Pangeran Kecil.
“Yaa, begitulaaah…”, kata si Rubah.
“Kalo begitu, apa yang kita lakukan, nggak baik sama sekali!!”
“Menurutku sangat baik”, kata si Rubah, “karena warna dari ladang
gandum itu..”, kemudian si Rubah menambahkan :
“Pergi dan liat lagi bunga-bunga di kebun itu Kamu akan mengerti bahwa
bunga mawarmu itu sangat unik dibandingkan bunga-bunga lainnya. Kemudian, balik
lagi ke aku untuk mengucapkan selamat tinggal, dan aku akan menghadiahi kamu
beberapa rahasia”.
Pangeran kecil pergi sebentar, melihat kembali bunga-bunga mawar di
kebun.
“Kalian sama sekali nggak seperti bunga mawarku”, kata Pangeran Kecil.
“Kalian bukan siapa-siapa. Nggak ada yang menjinakkan kalian, dan kalian juga
nggak menjinakkan siapapun. Kalian sama seperti rubahku ketika pertama aku
kenal dia. Dia cuma seekor rubah, sama seperti ratusan ribu rubah lainnya. Tapi
aku sudah membuatnya menjadi temanku, dan sekarang dia menjadi unik di seluruh
dunia”.
Dan, para bunga mawar itu menjadi sangat malu…
“Kalian memang sangat cantik, tapi hampa,” kata Pangeran Kecil sambil
berlalu. “Nggak ada yang rela mati buat kalian
Aku yakin, awalnya aku pikir bunga mawarku sama seperti kalian, bunga
mawar yang aku miliki itu. Tapi, sebenarnya bunga mawar milikku itu, sangat
penting dibandingkan dengan semua bunga mawar seperti kalian; karena bunga
mawar itulah yang aku siram; karena bunga mawar itu lah yang membuat aku
menyiapkan pelindung / tutup gelas, karena bunga mawar itulah yang aku tutupi dan
jaga di bawah pelindung, karena bunga mawar itulah yang menyebabkan aku
membunuh ulat-ulat (kecuali beberapa yang memang kami selamatkan, supaya
menjadi kupu-kupu), karena bunga mawar itulah yang membuat aku mau
mendengarkannya, ketika dia ngomel-ngomel, atau marah-marah, atau saat dia
nggak ngomong apapun. Karena dia bunga mawarku..!!”
Kemudian, dia balik lagi untuk menemui si Rubah.
“Selamat tinggal”, katanya.
“Selamat tinggal”, kata si Rubah. “Sekarang aku akan kasih hadiah
rahasiaku ya…, rahasia yang sangat sederhana : hanya dengan hati orang dapat
melihat dengan benar ; yang sangat penting itu tak terlihat oleh mata”.
“Yang sangat penting, tak terlihat oleh mata,” Pangeran kecil
mengulang, supaya yakin dapat mengingatnya.
“Waktu yang kamu habiskan untuk bunga mawarmu itu yang membuat bunga
itu menjadi sangat penting”.
“Waktu yang aku habiskan untuk bunga mawarku……”, Pangeran Kecil
mengulang kembali, supaya ingat.
“Manusia sering lupa kenyataan ini,” kata si Rubah. “Tapi kamu jangan
lupa hal ini ya… Kamu harus bertanggung jawab, selamanya, untuk apa-apa yang
sudah kamu jinakkan. Kamu bertanggung
jawab untuk bungamu…”
“Aku bertanggung jawab terhadap bungaku....", ulang Pangeran Kecil, supaya dia tidak lupa....
---------------- end of chapter 22 ----------------------
Manusia sering lupa kenyataan ini,” kata si Rubah. “Tapi kamu jangan lupa hal ini ya… Kamu harus bertanggung jawab, selamanya, untuk apa-apa yang sudah kamu jinakkan.
BalasHapusNaaah....ini yang jadi pikiran saya selama ini. Nenek moyak kita telah menjinakkan kucing, sehingga sepanjang generasi kita harus bertanggung jawab terhadap kucing. Sekarang kucing tidak bisa lagi hidup di hutan, tidak pintar berburu. Kita harus memberi makan. Makanya sebel sama manusia yang suka ngusir2 kucing. Kita makhluk yang tidak bertangguung jawab.
#Halah...padahal revisi paper belum dikerjain juga hehehe....
I know who you are... ha..ha..ha...
BalasHapus