Breaking News

Selasa, 12 Mei 2009

The Puppy Love

Aku masih kelas 6 SD, baru pindah ke kota ini. Tanpa teman, nyaris tak pernah keluar rumah. Tapi itu tidak berlangsung lama. Perlahan-lahan sosialisasi itu terjadi. Aku mulai berkenalan dengan satu dua anak-anak tetanggaku. Aku juga belajar kultur mereka, bahasa mereka, dan kebiasaan-kebiasaan mereka, serta semua aktivitas social yang terjadi di lingkungan mereka.

Suatu hari aku dikenalkan dengan seorang anak perempuan, namanya Gingin. Temanku, Nok, mengenalkan Gingin sebagai anak yang punya warung langganan ibuku membeli beras. Gingin anak yang cantik, manis dan lincah, badannya tinggi besar dibandingkan dengan anak seusianya. Nok mengenalkannya dengan bumbu “geus boga kabogoh!”.. Oooo. .. aku hanya mengangguk.

Tanpa terasa aku mengikuti ritme kegiatan social di lingkungan tersebut. Mulai dari main bersama, ngobrol bersama, atau sekedar ngalor ngidul, bermain di kali dan sebagainya. Nok sendiri cukup akrab denganku karena itu hampir semua kegiatan aku lakukan dengan dia. Hampir semua teman-teman yang kemudian aku kenal, dikenalkan olehnya. Salah satunya adalah Buyung.

Buyung, ya nama itu aneh. Dari sekian banyak teman yang dikenalkan denganku, sebagian besar adalah anak perempuan. Tapi buyung merupakan hal yang aneh karena dia ternyata lumayan sering bermain dengan perempuan. Penampilannya juga berbeda dengan kebanyakan anak lelaki di sekitarku. Kulitnya bersih, wajah dan rambut terawat baik, dan dia memang senang tersenyum. Wajahnya juga manis. Lantas Nok mengenalkannya dengan bumbu “Kabogoh si Gingin!!!”. Ooooo aku hanya mengangguk, dalam hati aku mikir “koq bisa siii.. mereka kan masih pada anak kecil??”.

Waktu berlalu, aku main dengan berbagai jenis teman, secara bergantian. Sampai tibalah saatnya bulan Ramadhan, libur panjang buat anak-anak dan kami punya banyak waktu untuk bermain.. bermain dan bermain…..

Tanpa disadari, tiba-tiba ternyata frekuensiku bermain dengan Buyung menjadi lebih sering dibandingkan dengan yang lain. Mulanya sekedar ngobrol, kemudian main sepeda, kemudian aku sering meminjam buku bacaan (seperti penyakitku umumnya, selalu mengandalkan teman untuk mendapatkan buku bacaan). Kemudian jika sekolah sedang masuk siang, buyung suka membawa sepedanya main ke rumahku. Kita sekedar ngobrol, mendengarkan radio, atau membaca bersama (yang terakhir yang paling sering aku lakukan). Lantas Buyung mulai rajin menjemputku untuk jalan bersama ke masjid, entah shalat subuh atau shalat Tarawih bersama. Kami berjalan berombongan karena jarak yang cukup jauh dan rutenya banyak melewati jalan yang cukup gelap. Buyung anak yang menyenangkan. Sifatnya ramah dan senang bercanda. Dia anak bungsu dari dua bersaudara. Dia juga rajin mengenalkan aku dengan beberapa teman sekolahnya (kami berbeda SD). Tapi yang herannya, kebanyakan temennya itu anak perempuan. Sepintas terkesan si Buyung ini ‘playboy kampung’.

Suatu hari, terjadilah hal yang membuat aku kaget dan tersentak. Suatu malam, seperti biasa anak-anak pulang shalat tarawih berombongan. Kami shalat di masjid dekat kampung kami, tidak ke masjid besar karena pertimbangan jarak. Untuk mencapai masjid tersebut, kami harus melewati jalan menyisir pinggir kali. Jalan itu sendiri cukup lebar, sekitar 1m yang dilapisi semen dan sisanya tanah. Tapi jalan ini cukup menyeramkan untuk ukuran anak-anak karena diapit oleh kali Cikapundung di sebelah kiri dan kolam yang cukup lebar di sebelah kanan. Di sepanjang kolam tersebut, ada beberapa pohon kihujan yang cukup besar, dengan jarak sekitar 20 meter antar pohon tersebut. Biasanya anak-anak selalu berjalan berdekatan melewati jalan tersebut, karena merasa agak takut, belum lagi ditambah gossip gossip mengenai hantu dan sebagainya.

Maka malam itu kami melewati jalan tersebut saling berdekatan. Karena jarak, maka kami terpisah menjadi 2 rombongan. Aku berjalan dengan buyung. Karena asyik mengobrol tanpa kusadari, ternyata aku agak tertinggal dalam rombongan terakhir, dan hanya berdua dengan Buyung. Tiba-tiba buyung menggandeng tanganku. Aku masih diam karena kupikir cuma sekedar kedekatan saja. Dia mulai bercerita dan kata-katanya sudah agak merayu, dia memuji potongan rambutku yang baru (kebetulan aku baru potong rambut). Dia bilang, dia senang sekali maindenganku, dan mengajak main ke suatu tempat besoknya. Genggaman tangannya makin erat, dia mulai menarik badanku makin mendekat ke arahnya. Terus terang aku takut dan deg-degan, sebab waktu itu aku tidak mengerti kemana arahnya. Kemudian dia bertanya, apa aku senang bermain dengan dia? Tentu aku jawab aku senang. Tiba-tiba dia mencium tanganku yang sedari tadi dia genggam. Aku kaget dan menarik tangan tersebut. Dia malah mengalungkan tangannya ke bahuku. Aku langsung menghindar. Kemudian dia berucap, “sun dong!”, sambil memiringkan wajahnya ke arahku. Tentu aku kaget luar biasa…!! Aku langsung melepaskan diri dari genggaman tangannya, dari rangkulannya dan secara reflek menjauh.

“eh.. jangan marah dong!”, dia tampak kaget.. Aku cuma diam dan mempercepat langkah dan berusaha menyusul yang lain.

“Eh.. tungguin dong.., jangan buru-buru gitu..!”, dia berjalan cepat menyusulku. Aku berhasil menyusul temanku lainnya. Tanpa aku duga, dia berlari menyusul dan segera menarik tanganku dan agak menekannya.

“eh.. jangan marah dong.. aku cuma bercanda”, dia setengah berbisik, seolah-olah menekankan agar tidak menceritakan ke teman-teman yang lain.

Aku seolah mengerti, diam dan tetap berjalan dengan yang lain. Hingga sampai ke tempat tujuan aku tetap diam seribu basa. Kami berpisah ke tempat masing-masing.

Malam itu aku gelisah. Terus terang perilaku Buyung itu sulit aku terima. Koq begitu ya..? Besoknya aku jadi bingung, bagaimana harus menghadapi buyung. Dan untungnya, buyung juga sepertinya mengalami hal yang sama. Dia menjadi canggung, dan berusaha meminta maaf. Tapi aku berusaha menghindar.

Sebelum bermain dengan tetangga, aku sering aktif mengikuti kegiatan anak-anak masjid. Aku cukup dekat dengan kakak pembina di kegiatan tersebut, bahkan sesekali aku sering main ke tempat tinggal mereka, untuk sekedar mengobrol. Setelah bermain dengan tetangga, aku jadi jarang mengunjungi kakak Pembina. Ketika kegelisahan terjadi, maka setelah beberapa hari kemudian aku putuskan mengunjungi salah satu kakak Pembina tersebut. Aku kemudian menceritakan apa yang kualami malam itu dengan Buyung. Aku merasa nyaman bercerita dengan kakak Pembina dibandingkan dengan kakakku sendiri, karena aku takut diomeli lebih lanjut. Tanggapan dari kakak Pembina membuat aku tersentak. Kakak Pembina dengan tegas menyatakan bahwa perilaku Buyung itu sangat berbahaya dan tidak layak untuk usianya, sehingga kakak Pembina menyarankan aku untuk menjauh. Jangan bermain lagi dengan Buyung.

Sejak saat itu, aku memang benar-benar menjauh. Sepertinya Buyung juga menyadari perubahan sikap sehingga dia tidak memaksa terus mendekati. Hanya kemudian sikapnya adalah menyerang dari belakang, dengan menyebarkan gossip-gosip negative. Tapi semua itu tidak kugubris. Setelah kejadian itu, aku tidak pernah akrab lagi dengan Buyung, bahkan dalam beberapa hal malah sering ribut. Misalnya, pernah aku menemukan bahwa buku-buku bacaan milikku yang dipinjamnya, ternyata tidak dikembalikan, bahkan disumbangkan ke perpustakaan RW atas nama dia sendiri. Kemudian, pernah juga ada yang menuliskan namaku dan nama Buyung di tembok dalam bentuk graffiti, tanpa jelas diketahui siapa yang menuliskannya. Belum lagi tuduhan negative dari beberapa teman-temanku yang menyangka aku ini ‘pacarnya’ Buyung.

Seiring dengan waktu, masalah itu terlupakan. Aku melanjutkan ke SMP, Buyung pun entah melanjutkan sekolah kemana. Bahkan aku juga pindah dari kampung itu. Aku dengar Buyung dan keluarganya juga pindah dari kampung itu, entah kemana.

Setelah itu…. Lama sekali aku tidak mendengar namanya dan bertemu orangnya. Bahkan aku nyaris melupakan bahwa aku pernah kenal dengan Buyung.

Sampai suatu hari, ketika aku sudah menikah dan bekerja, aku bertemu lagi dengan Buyung secara tidak sengaja. Waktu itu aku sedang berjalan pulang kembali ke kantor dari poliklinik perusahaan, setelah mengurus administrasi penggantian perawatan rumah sakit. Di halaman parkir, tiba-tiba namaku dipnaggil seseorang. Aku menoleh, ada seorang bapak memanggilku dari dalam mobil minibus warna merah. Aku hampiri perlahan sambil bertanya-tanya, siapa ya?

Dia turun dari kendaraan, terlihat bahwa kakinya sedang dibalut perban, dia mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.

“Pa kabar?”

“Baik”, aku menjawab sambil berfikir keras.. siapa ya..? Dia tersenyum. Samar-samar aku ingat senyumnya. Tapi siapa ya??

“Maaf pak, saya lupa, apa saya pernah kenal dengan bapak?”

“Saya Buyung, inget nggak? Temen kamu SD dulu.”, dia menjelaskan.

Oooooo .. langsung semua memoriku pulih.

“O.. buyung ya?? Iya saya ingat.. gimana kabarnya..? kok ada disini?”, dan berbagai pertanyaan standar lainnya.

Singkat kata kami bertukar cerita. Ternyata istrinya bekerja di perusahaan tersebut. Dia sendiri mengenalkan dirinya sebagai ‘wiraswasta’.

“Saya minta alamat kamu dong, atau nomor telpon?”, dia meminta identitasku.

“Aduh, saya nggak punya kartu nama, tapi ada nih.. kertas yang isinya nomor telponku”.

Akhirnya aku menyerahkan kertas kecil yang berisi namaku, nama departemen dan nomor telpon kantorku. Aku berpamitan dan kembali ke ruangan.

Kejadian itu sebenarnya hanya selewat dan mungkin aku lupakan, jika tidak ada kejadian lanjutannya. Lanjutannya adalah, suatu hari aku ditelpon. Ketika aku angkat, ternyata Buyung. Intinya dia menawarkan ingin menjual komputernya. Aku jawab aku tidak membutuhkan computer. Dia memaksa, barangkali aku bisa membantu menawarkan ke teman-teman. Aku hanya bisa menjawab “ya.. nanti saya coba”.

Besoknya, dia menelpon kembali, menanyakan apakah ada temanku yang minat membeli computer tersebut. Aku jawab, ternyata sampai saat ini belum ada. Kemudian dia tiba-tiba menyatakan ingin meminjam sejumlah uang.

“Aduh, maaf Buyung, saya nggak punya sejumlah uang itu. Saya ini baru dirawat dari rumah sakit, kemaren saya baru saja mengurus penggantian biayanya dan belum keluar hasilnya”. Aku memberikan alibi.

Kemudian dia dengan nada kesal dan memaksa, meminta aku meminjamkan uang seberapapun yang aku punya. Aku berdiplomasi untuk meminta waktu.

Setelah telpon ditutup, aku merasa gelisah dan terganggu. Koq bisa ya…, sudah lama nggak ketemu, eh.. sekali ketemu langsung mau pinjem uang.. rasanya gimana……gitu…

Akhirnya aku berfikir pelan-pelan.. Kemudian terlintas ide, bagaimana jika aku berbicara dengan istrinya saja? Lantas aku mulai menghidupkan computer, membuka database kepegawaian dan mulai mencari nama istrinya. Karena aku tidak mengetahui nama istrinya, jadi aku mulai mencari dari nama suaminya yaitu Buyung.. Cari..cari..cari.. ah ketemu..!! Dari database kepegawaian (karena kebetulan aku di department IT), aku mengetahui nama istrinya dan nomor telpon kantornya.

Aku segera menelpon istrinya. Secara perlahan aku menjelaskan kejadian dan apa yang diminta Buyung yang tidak dapat aku penuhi, beserta alasannya. Istrinya tidak banyak berkomentar dan hanya mendengarkan dengan baik. Kemudian istrinya berjanji akan menyampaikan kembali kepada Buyung. Telpon ditutup dan selesai.

Keesokan harinya, Buyung menelpon kembali. Kali ini dia langsung menelpon dengan nada marah.Rupanya dia keberatan aku menelpon istrinya. Dia menyatakan bahwa aku sudah merusak rumah tangganya, membuat dia ribut dengan istrinya dan mencampuri urusan keluarganya. Lho..lho..lho…. aku terkaget-kaget. Tapi aku tidak ingin menjawab karena aku merasa percuma menjelaskan berpanjang lebar. Aku hanya menjelaskan bahwa aku tidak bisa memenuhi permintaannya untuk meminjamkan sejumlah uang.

“Ya.. kalo nggak bisa, bilang aja nggak bisa, nggak usah bawa-bawa nama istri, apalagi pake nelpon istri segala. Saya kan jadi ribut, soalnya istri saya katanya dia jadi malu sama kamu”.

“Tapi kan kamu maksa, lagian aku nggak tau harus telpon kemana. Nah aku kan taunya istri kamu kerja disini. Jadi aku telpon istri kamu buat menjelaskan”

“ah.. kamu mah sembarangan banget si..”

“Ya terserah lah..!!”. Aku tidak menanggapi berkelanjutan. Telpon kututup, dan itulah terakhir kali aku melihat, mendengar dan bertemu dengan yang namanya Buyung. Selintas aku mengenang, ternyata Buyung yang masa kecilnya aku kenang sebagai ‘playboy kampung’ yang agak bermasalah, senang memanipulasi teman, ternyata kesan negative itu tetap ada sampai sekarang. Aku hanya berfikir, apakah ini hanya kebetulan, mungkin dia lagi benar-benar membutuhkan dana, atau jangan-jangan sudah menjadi kebiasaan? Entahlah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar