Breaking News

Kamis, 04 Juni 2009

Erick!!!


Erick ??


Erick!!! Nama itu tidak pernah terlintas di benakku. Tidak pernah aku kenal sebelumnya dan tidak pernah aku lihat sebelumnya. Lantas bagaimana tiba-tiba nama itu muncul?

Waktu itu aku baru naik kelas 3, kelas campuran yang berasal dari beberapa kelas lainnya. Suatu hari, salah seorang rekanku, termasuk cewek selebritis, menghampiriku dan bertanya.

“Eh, kamu sekelas sama Erick ya?”

“Erick, nggak tau tu.. yang mana?”

“Duh.. itu lho.. masak kamu nggak tau sih.., anaknya keren, tinggi, tampangnya juga oke, mirip-mirip Erick Estrada”, temanku menjelaskan. Ha.. mirip Erick Estrada? Itu lho yang main di film serial “Chip” (serial terkenal di TV masa itu).

“Nggak tau tu??? Aku kan baru masuk kelas itu, jadi belum pada kenal”.

Hm.. pertanyaan temanku itu mengusik juga. Tapi aku tidak mengingatnya lebih jauh. Seiring dengan waktu, diam-diam aku mulai mengetahui yang mana yang bernama Erick. Tapi aku belum sempat kenal karena belum ada kesempatan. Sampai suatu saat kesempatan itu muncul tiba-tiba.

Suatu waktu, kami mengikuti ekskul IPA. Ketika di laboratorium, di sampingku duduklah Erick. Aku menggeser bangku, tersenyum. Hari masih pagi, dan Erick tampil dengan wajah cerah dan seragam yang rapih. Sepanjang guru menerangkan, diam-diam aku memperhatikan Erick. Mungkin benar apa yang temanku katakan. Erick sebenarnya profil yang menarik. Badannya atletis, tinggi dan berat ideal. Wajahnya agak gelap tetapi punya sorot mata menarik. Kesan positif itu kemudian tecampur dengan kesan lain karena sepanjang praktikum, aku mencium bau rokok. Hm.. ternyata Erick merokok. Sayang sekali!! Padahal baru kelas 3 SMP

Kemudian seluruh peserta diminta membuat kelompok. Erick langsung mendaftarkan diri masuk kelompokku. Tugas pertama adalah membuat lingkaran Newton. Selesai praktikum, kelompokku berembuk mau ketemu kapan dan dimana, untuk mengerjakan tugas tersebut. Tanpa diduga, Erick mengajukan diri menawarkan agar kami berkumpul di rumahnya. Ide itu aku sambut positif dan semua anggota kelompok setuju.

Pada hari dan jam yang sudah disepakati, aku datang ke rumah Erick. Rupanya aku datang terlalu cepat karena saat itu belum ada yang datang. Aku memasuki gerbang utama rumah tempat tinggal Erick. Rumahnya terkesan megah menurut ukuranku. Tidak mewah tetapi elegan. Aku dipersilakan masuk dan menunggu di ruang tamu. Ruang tamunya sendiri berkesan luas dan bersih. Sambil menunggu Erick, aku mengamat-amati ruangan tersebut. Berbentuk mezanin dan ada tangga ke lantai atas. Langit-langitnya tinggi dan terbuka hingga ke lantai atas. Di bawah tangga, berderet buku-buku. Aku melirik judul-judulnya dan berkomentar dalam hati “wow.. keren..!!”, buku-bukunya cukup menggiurkan menurut ukuranku waktu itu. Disana berderet sekian jilid ensiklopedi Amerika, seri Time Life dan beberapa buku impor lainnya. Tampaknya keluarga ini lumayan terpelajar.

Tidak lama kemudian, Erick turun dari lantai atas. Menggunakan t-shirt dan celana jins, Erick terlihat santai.

“eh.. udah lama nunggu..?”

“Iya ni.. kecepetan datengnya….”, aku memprotes.

Kemudian Erick duduk santai dan kami mulai mengobrol.

“Waduh.. .. rumah kamu gede ya Rick, buku-bukunya bagus-bagus lagi…!”, aku mencoba berkomentar.

“ah.. ini bukan rumah aku. Ini rumah kakekku”

“Oh.., jadi ayah ibu kamu nggak di sini?”

“Ayah di Jakarta, ibu di tasik”

“Lo…kok?”

Selanjutnya percakapan menjadi intensif. Selama menunggu teman-teman kami datang, aku berkesempatan menanyakan banyak hal, dan tidak seperti dugaanku, Erick menjawabnya dengan lancar, terbuka dan apa-adanya. Dari percakapan itu aku menemukan banyak fakta menarik tentang Erick, latar belakangnya dan beberapa hal lainnya yang bersifat pribadi. Dari situ aku mengetahui ternyata orang tua Erick sudah bercerai. Erik anak pertama, memiliki dua orang adik perempuan yang tinggal dengan ibunya di Tasikmalaya. Ayahnya tinggal di Jakarta. Erick sendiri tinggal di tempat kakeknya bersama dengan paman-paman dari pihak ibunya.

“Kamu merokok ya?”, tanyaku penasaran.

“Iya.. emang kenapa?”

“Nggak kenapa-kenapa.. Cuma sayang aja.. kan masih SMP”, aku beralasan.

“Udah kebiasaan si”

“O ya? Sejak kapan kamu merokok?”

“Sejak kelas 5 SD, aku ngerokok di sekolah”

“Lho kok bisa? Emang kamu SD mana?”

“Aku dulu sekolah di SD Banjirsari”

“Lha itu kan SD ngetop, apa kamu nggak dimarahi pak guru kalo ngerokok?”

“Ya enggak lah.. ngerokoknya kan diem-diem di halaman belakang sekolah”

“Emang banyakan yang ngerokok?”

“Banyakan”

“apa enaknya ngerokok?”

“Enak lah.. jadi santai, nggak banyak pusing.. rileks gitu…!!”

“Eh.. aku juga suka minum obat-obat gitu lho..!!”, tiba-tiba Erick mengaku sesuatu yang membuat aku terkaget-kaget.

“Obat…? Obat apaan rick?”, aku benar-benar nggak ngerti.

“Eh.. kamu nggak tau ya.., itu lho semacam pil penenang”, Ooo.. samar-samar aku mulai mengerti. Rasanya pernah denger cerita seperti itu.

“Emang ngaruh gitu?”, aku jadi penasaran…

“Iya.. aku kalo nggak minum pil kayak gitu, nggak bisa konsentrasi kalo belajar. Jadi biasanya aku minum pil kalo lagi mau ulangan”, Erick menjelaskan.

“Tapi kan rick, aku pernah denger, katanya yang gitu itu bisa merusak lho!”, pelan-pelan aku mencoba berargumentasi.

“Ya enggak lah kalo nggak terlalu sering!”.

“Oooo, emang kamu punya masalah apa dengan konsentrasi? Kalo nggak minum obat memangnya kenapa?”

“aku ini orangya males belajar. Dulu waktu SD aku sebenernya lumayan lho di kelas. Biasanya papa suka memberi hadiah kalo aku dapet nilai bagus. Semenjak papa dan mama berpisah, papa nggak peduli lagi aku dapet nilai berapa. Aku jadi males belajar. Trus kalo lagi belajar tuh, suka terbayang-bayang omongan papa yang males aku dengar, biasaaa lah..! Papaku kalo lagi ribut sama mama kan suka ngomong hal-hal yang nggak enak gitu..!”

“Oo, tapi kan nggak selamanya kamu harus minum pil, justru kamu harus cari jalan gimana caranya bisa konsen tanpa minum pil”

“Buat aku sekarang itu cara terbaik, kalo nggak minum pil, aku nggak pengen belajar sama sekali, tiap buka buku langsung kebayang wajah papa”.

“Ah, itu sih perasaan kamu aja! Jangan-jangan cuma alesan kamu aja!”, aku membantah.

Percakapan terhenti karena teman-teman kami yang lain sudah datang. Kami langsung mengerjakan tugas kelompok tersebut dan pulang.

Tapi aku masih terkenang omongan-omongan Erick. Apa benar kalo tidak minum pil dia jadi tidak konsen belajar?


Pesta Gele ???


Beberapa hari berikutnya aku jadi akrab dengan Erick, bahkan beberapa kesempatan kami sempat satu bangku. Kebetulan aku orang yang senang berpindah-pindah tempat duduk. Karena akrab, maka akhirnya aku jadi ikut memperhatikan nilai-nilai ulangan Erick. Menurutku hasil ulangannya tidaklah jelek-jelek amat. Matematika pernah dapat nilai 8, Bhs Inggris 9, Fisika 9, dan sebagainya. Kadang-kadang ada juga nilai jelek, misalnya 5 atau 6. Pada saat nilainya jelek, biasanya aku iseng bertanya.

“Kenapa Rick?”, dan jawabnya pasti “aku lagi nggak minum obat”.

Duuh.. segitunya ya…!

Sebetulnya aku tidak pernah berniat ikut campur dengan urusan erick dan obat-obatannya tersebut. Sebagai teman, aku hanya berusaha mengingatkan. Tapi, suatu hari, tanpa sengaja aku terpaksa ikut campur.

Suatu hari, ketika aku sedang duduk sebangku dengan Erick, tiba-tiba dia bercerita.

“Eh.. aku kemaren dari Tasik lho!”

“Oo. Nengok mama kamu ya?”

“Iya.. sambil maen ama anak-anak”.

“O.. sama siapa aja?”

“Ya .. banyakan lah. Diantaranya ada Boris, Firi, dan lain-lain! Aku bawa oleh-oleh juga lho!”

“Oleh-oleh apaan..? asik dong!!”

“Kamu mau?”

“Ya apaan dulu?”

“Gele! Tau nggak?”

Aku tersentak, sepintas aku pernah mendengar gele, tapi melihat bendanya belum pernah. Itu kan bahasa gaul untuk sejenis ganja.

“Eh.. tau lah.. , nggak mau ah kalo yang gitu mah!!”

“Eh.. enak lho pake gele itu.. ! Kita bisa lebih santai, lebih lama dibandingkan obat-obatan”, Erick seolah membujuk.

“Nanti siang ni.. kita mau pesta tuh. Mau ikutan nggak?”

“Pesta? Dimana? Sama siapa aja?”

“Ya.. sama anak-anak lah..!! Mungkin di rumah Boris.. kamu mau ikut nggak? Kalo mau, kamu tunggu aja di rumah Dewi, nanti Boris mau nyamper Dewi!”.

“Dewi?”, Aku kaget setengah mati..

“Iya.. kamu belum tau ya..! Dewi itu pacar Boris sekarang!!”

“Dewi kelas sebelah?”

“Iya.. kamu kenal kan??”

“Ooo .. ya kenal.. ya udah, gimana nanti lah!”, aku menutup pembicaraan. Sebelum aku berlalu dari bangku, Erick dengan bangga menyembulkan sebentuk helai daun kering berwarna agak coklat dari balik sampul bukunya.

“Nih.. gele-nya..!! Mau??” Ujarnya sambil tertawa. Entah mengapa, aku merasa Erick mentertawakan aku. Tapi aku tidak mau memperpanjang masalah dan segera pergi.

Dewi? Ah masa sih? Aku berfikir keras. Aku kenal Dewi, cewek manis di kelas sebelah, bahkan Dewi adalah juara di kelasnya. Masa sih Dewi mau diajak pesta gele? Dewi pacaran dengan Boris? Nah.. ini yang aku belum tau. Memang setahuku, Dewi ini termasuk cewek yang laris manis, dan doyan pula berganti-ganti pacar, tapi setahuku itu semata-mata untuk hiburan dia saja. Beberapa kali aku bahkan sempat mampir ke rumahnya, sekedar ikut beristirahat sepulang sekolah. Apa Dewi sudah tau bahwa Boris akan pesta Gele siang ini? Dengan rasa khawatir yang amat besar, aku berjalan mencari Dewi di kelasnya.

“Wi, aduh..! aku cari kamu kemana-mana..!! Ada info penting nih!!”, aku segera mengejar Dewi begitu aku melihat dia melintas di dekat pintu kelasnya.

“Info apaan?”

“Eh sorry nih.. aku baru tau .. apa bener kamu sekarang pacaran sama Boris?”

“Ehm.. iya si..”

“udah berapa lama?”

“Eh.. baru si.., nggak terlalu lama. Emang kenapa?”

“Apa bener Boris mau maen siang ini ke rumah kamu?”

“Lho kok tau?”

“Ya.. pokoknya jawab dulu.. apa bener??”

“Bener si, tadi dia ngomong pas ketemu di kantin. Katanya dia mau maen sekitar jam 2 an, mau ngajak aku maen ke rumahnya gitu? Atau kemana gitu? Katanya sih rame-rame dengan temennya. Knapa?”

“Sorry nih.. bukannya aku ikut campur ya..! Boris itu kan emang pacar kamu, tapi tadi aku dapat info dari Erick, katanya Boris dan temen-temennya siang ini tu mau pesta gele”.

“Ah.. yang bener?? Kamu kata siapa? Erick tau darimana?”, Dewi penasaran.

“Eh.. kan dapet gele-nya juga dari Erick, bahkan Erick ngajakin aku segala..!! Emang kamu mau kalo diajakin??”.

“Ooo gitu ya.. nggak tau lah. Liat aja nanti siang!!”.

Kami berpisah karena bel tanda selesai istirahat berbunyi.

Pulang sekolah, aku melupakan peristiwa tersebut. Sampai esok harinya, aku terkejut waktu bertemu Erick dan dia bertanya dengan sikap marah

“Kamu ngasih tau Dewi ya? Kamu ngefitnah Boris ya? Bilang boris mau ngajakin Dewi pesta gele segala?”

“Lha.. bukannya kamu kemaren ngomong gitu?”

“eh.. kamu ini sembarangan.. gara-gara kamu tau !! Boris jadi marah sama aku, katanya aku nyebar-nyebar omongan jelek tentang Boris! Gara-gara itu kemaren Dewi jadi nggak mau diajakin Boris maen”.

O, itu to sebabnya! “Trus kamu maunya apa? Aku kan cuma bilang ke Dewi seperti yang kamu ceritain itu?”

“Eh nggak gitu jadinya, katanya kamu bilang ke Dewi kalo Boris itu suka ngajakin temen-temennya berbuat nggak bener!”

“ah masa! Aku nggak bilang gitu?”

“Ha.. tanya aja Dewi, makanya jadi orang jangan comel!!”

Aku tidak menjawab, kesel dan jengkel. Aku langsung menemui Dewi, berharap mendapat penjelasan. Ternyata, bukan penjelasan yang kudapat, tapi Dewi malah berbalik marah.

“Aku males ah ngomong sama kamu. Kamu itu ngejelek-jelekin Boris, bilang boris ngajakin Erick pake Gele segala!! Kamu sirik ya aku pacaran sama boris?”

“Ha.. sirik?? Nggak lah.. , ngapain?? Aku tuh kemaren cuma mau ngingetin kamu aja! Emang kemaren Boris jadi datang?”

“Iya.. , trus seperti kata kamu, ngajak maen, trus aku nggak mau soalnya seperti kata kamu, dia mau pesta Gele, eh .. trus dia marah-marah, dia bilang tau darimana, aku bilang dari kamu, kamu dari Erick, nah trus dia marah, padahal Erick ada di situ! Jadi Erick langsung membantah dan bilang bahwa semua itu kamu yang ngarang!!”

“Eh.. enak aja.. !! Aku nggak ngarang kok?”

“Ya udah, pokoknya Boris marah-marah, sampe-sampe nonjok tiang teras rumahku”

“Kamu jadi pergi”

“Ya enggak lah.. ! Kan Boris marah! Aku jadi males”

“Jadi kalo boris nggak marah, kamu mau pergi?”

“Enggak juga sih, aku agak takut juga, abis temennya cowok semua, aku sendiri yang cewek. Serem!!”

“Tu.. kan? Apa aku bilang juga..!”

“tapi sekarang kamu jangan maen sama aku lagi dulu lah.. aku takut kalo Boris marah lagi! Kamu ati-ati aja!” Dewi seperti memperingatkan.

“kenapa si kamu kok mau pacaran sama Boris gitu?”

“Kamu nggak tau ya..? Boris itu dari keluarga pejabat tau??? Nggak mungkin lah melakukan yang gitu-gitu”

“Ya tapi orangnya mencurigakan gitu?”

“ah. Pokoknya kamu nggak usah ikut-ikutan lah. Terserah aku lah.. mau pacaran sama siapa!!”.

Aku berfikir, apa ya salahku? Aku bermaksud baik mengingatkan Dewi agar tidak terjebak ikut-ikutan pesta Gele, tapi kok malah aku yang dipersalahkan.

Akhirnya aku bersikap masa bodoh. Sejak saat itu aku jadi menjauh dari Erick, sebenarnya Erick juga berusaha menjauh dariku. Dia tidak mau duduk di sebelahku, tidak mau banyak berbicara, dan seperti selalu menghindar. Tidak cukup menghindar, dia juga tidak mau satu kelompok denganku, bahkan cenderung provokatif dengan sengaja menyapa orang lain, tapi tidak mau menyapa aku.

Mula-mula aku agak kecewa, tapi akhirnya aku biarkan. Aku hanya berusaha bersikap wajar dan tidak terpancing untuk berkomentar apapun. Ternyata provokasi tidak hanya dilakukan oleh Erick, entah mungkin diminta oleh Boris, entah tidak, provokasi juga dilakukan oleh anggota genk lainnya, misalnya Firi. Padahal aku tidak pernah berurusan dengan Firi. Mereka mulai men’teror’ ku secara tidak langsung, salah satunya dengan cara merusak buku kenangan.

Waktu itu sudah dekat dengan ujian akhir SMP kelas 3. Aku punya kebiasaan membuat semacam buku kenangan, dibuat dari buku tulis biasa, dan aku edarkan ke teman-teman, siapa saja, untuk menuliskan data-data dan pesan serta kesan-kesannya di buku tersebut. Biasanya mereka membawa buku tersebut pulang dan mengisinya di rumah, kadang-kadang mereka menghiasinya dengan warna dan gambar-gambar. Sekali waktu, buku tersebut menghilang cukup lama. Aku bertanya ke teman-teman barangkali ada yang tau siapa yang sedang mengisi buku tersebut. Ternyata tidak ada yang tau. Setelah buku kenangan menghilang, aku juga kehilangan buku teks pelajaran sejarah. Meski aku yakin tidak ketinggalan, tetap saja buku itu tidak aku temukan. Aku sudah merelakan buku tersebut hingga suatu hari aku menemukan dua buku itu, diletakkan seseorang tepat di atas tasku, ketika aku tidak berada di dalam kelas. Jadi aku tidak tau siapa yang meletakkannya. Langsung aku raih dan membuka halaman demi halaman. Betapa terkejutnya karena hampir setiap halaman buku tersebut penuh dengan coretan-coretan. Semua tulisan yang sudah dibuat dengan rapih dan cantik oleh teman-temanku ditimpa dengan coretan baik berupa komentar ataupun gambar-gambar, yang sayangnya, dibuat dengan kasar dan dengan simbol serta kata-kata yang tidak pantas. Makin membuka halaman buku tersebut, tanganku makin gemetar, hatiku makin ingin meledak, marah, kecewa, sedih, dan merasa dilecehkan. Buku teks sejarah juga tidak jauh berbeda nasibnya, bahkan beberapa halaman disobek paksa. Dari bentuk coretan-coretan tersebut aku tau siapa pelakunya. Maka aku hampiri Firi.

“Eh.. ngapain kamu coret-coret buku punyaku?”

“Kata siapa aku yang coret-coret…? Tanya aja erick tu! Dia tau siapa aja yang menuliskan kata-kata kenangan disitu!”

Aku melihat ke Erick, Erick hanya tersenyum santai sambil mengobrol dengan cewek-cewek lain.

“Knapa? Apa ada yang salah tulisannya?”, Erick terkesan menantang

Aku hampir terpancing dengan tantangan tersebut. Tapi, entah mengapa seperti ada tegoran dalam hatiku untuk tidak meladeni mereka. Jadi aku memutuskan tidak memperpanjang masalah tersebut. Buku itu sendiri tidak mungkin aku bawa pulang, tidak juga dapat aku edarkan kembali ke teman-temanku yang lain karena isinya terlalu memalukan untuk dibaca orang, sangat tidak pantas. Aku tidak terbayang apa yang akan dikatakan oleh kakak-kakakku jika membaca isi buku kenangan tersebut. Pasti dikiranya aku sudah bergaul dengan orang yang salah.

Jadi, sepulang sekolah, dengan rasa kesal, kecewa dan menangis, ketika lewat di atas jembatan Cihampelas, aku lemparkan buku itu ke pusaran air di kali Cikapundung. Aku tidak mau menyimpan dan membacanya lagi.

Setelah itu, aku tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Erick dan teman-temannya. Lagipula, aku lebih disibukkan dengan persiapan ujian akhir SMP serta testing masuk SMA. Terakhir aku bertemu mereka ketika pengumuman penerimaan di SMA. Aku tidak ingin menyapa langsung, tapi dari ekspresi mereka, dan juga dari info teman-teman yang lain, sepertinya tidak satupun dari mereka yang diterima di SMA Negeri tujuan mereka masing-masing. Sejak itu, aku tidak pernah lagi berjumpa dengan mereka.


At the end??


Suatu saat, bekerjalah aku di sebuah BUMN. Di tempat kerjaku banyak gossip beredar. Salah satunya adalah gossip mengenai perilaku buruk karyawan. Misalnya, ada karyawan yang ternyata pemabuk, ada juga yang narkoba, bahkan menjadi penyalur narkoba. Demikian gossip yang aku dengar dari teman-temanku. Ketika aku tanyakan, koq bisa sih? Jawab mereka

“.. tau sendirilah.. mereka itu masih ada hubungan famili dengan pejabat. Tuh… kayak si Donadoni itu lho?? Dia itu tinggalnya aja di rumah salah satu pejabat, nggak tau jadi apa.. apa pak bon-nya, apa tukang sapunya, nggak tau apa?”

“Emang kenapa si Donadoni itu? Apa dia pemabok juga?”

Suatu hari kami bergossip tentang salah seorang rekan kami.

“enggak sih, Donadoni itu anaknya baek, cuma seneng cari muka aja, maklum, modalnya cuma itu, Tapi kamu tau nggak kakaknya, siapa ya namanya.. Boris gitu, yang kerja di gedung sebelah. Udah terkenah tuh sebagai pengedar narkoba!!”, temanku membumbui..

“Ah.. tau darimana?”

“Eh.. kamu kan orang baru, jadi nggak tau sejarah kelam di sini, aku kan tau, istriku itu sekertaris di gedung sebelah, jelas dia tau lah gossip-gossip kayak begitu!”

Pembicaraan terhenti karena namanya juga gossip, sekedar hiburan, boleh percaya boleh tidak. Tapi aku agak terusik dengan gossip tersebut. Diam-diam aku menyelidiki data tentang donadoni temanku itu. Penyelidikan termudah bermula dari membuka database karyawan. Aku agak kaget ketika menemukan fakta, bahwa benar donadoni ini punya seorang kakak bernama Boris yang berdasarkan data yang aku temui, bekerja di gedung sebelah. Penelusuran aku lanjutkan ke data-data mengenai Boris, hm.. sepertinya nama ini aku kenal. Aku periksa data riwayat pendidikannya. Hm.. apakah dia Boris yang pernah aku temui dulu? Sepertinya data pendidikan SMP nya sama seperti aku. Tapi aku tidak memperpanjang penyeledikan tersebut. Gossip tersebut nyaris aku lupakan.

Suatu saat, di bulan Ramadhan, menjelang libur Idulfitri, kantorku mengadakan bazar. Aku menyewa satu stand, mengisinya dengan berbagai macam barang dagangan, bekerjasama dengan teman-temanku. Kebanyakan kami menjajakan baju dengan harga terjangkau. Hari itu, sekitar jam 10 pagi, banyak orang yang hilir mudik di bazar tersebut. Sebagian dari mereka adalah karyawan bagian produksi/pabrik yang baru pulang dari shift pagi. Biasanya mereka bubar jam 8.00. Sekelompok orang mampir ke standku, melihat dan memilih-milih barang disana. Aku dan temanku sibuk menjawab pertanyaan mereka. Tiba-tiba, seseorang menyapaku.

“Hai..!! ………. Kamu itu ………. Bukan?”

“Hai..eh…. iya.., koq kenal sih?”, aku bingung, karena merasa tidak kenal dengan yang menyapaku.

“Lupa ya?”.

“Eh iya.. maaf.. aduh.. bentar…bentar….”, aku berusaha keras menggali ingatanku.. orang ini seperti yang pernah aku kenal, tapi dimana ya?? Orang tersebut tersenyum

“Erick, temen kamu SMP”.

“Oooo… iya.. iya.. aku inget…”, plasss ingatan itu sekarang mendadak kembali utuh. Tentu aku ingat!! Erick yang dulu terkenal sebagai cowok keren itu..

“Eh.. emang kamu kerja disini?”, aku bertanya

“Iya”

“Udah lama”

“Ya udah lah.., aku juga tau kamu kerja disini udah lama!”

“Lho.. kok?? Tau dari mana? Emang kamu suka ketemu aku sebelumnya?”

“Kamu kan tiap hari lewat tempat aku, tuu di depan pabrik, kamu suka ngabsen di mesin itu kan?? Aku sering liat kamu beberapa kali!!”, Erick menjelaskan.

Oalaah…, koq bisa-bisanya dia ngeliatin aku dengan cara seperti itu.

“Kenapa kamu nggak nyapa? Kenapa kamu nggak manggil aku?”, aku protes.

“Nggak ah.. malu!! Takut kamu nggak kenal aku lagi!!”

“Diiih.. gitu aja koq malu…! Emang kamu kerja di bagian apa?”

“di pabrik”

“Iya.. tau, tapi di bagian apa?”

“di bagian mesin.. udah ya.. nanti kapan-kapan ngobrol lagi!”

“Telpon aku ya, aku di bagian IT”

Erick cepat berlalu bersama rombongan teman-temannya.

Oooo, jadi selama ini dia ada disini, di perusahaan yang sama denganku. Tapi di bagian apa? Mengapa dia tidak menyapa aku, kalo selama ini dia sudah tau bahwa aku kerja disini. Mengapa malu?

Berbagai pertanyaan melintas di kepalaku. Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong aku untuk mulai mempelajari data-data tentang Erick. Dari database kepegawaian aku menemukan nama departemen dan telpon tempat Erick bekerja, juga alamat rumah, dan informasi lainnya. Aku berfikir, mencari-cari alasan bagaimana caranya jika ingin menelpon Erick. Aku mencoba menelpon beberapa kali, tapi tidak pernah berhasil. Setiap kali aku menelpon, sepertinya orang di bagian sana tidak terlalu mengenal Erick. Selain itu, tempatnya terdengar sangat bising dan suara orang-orangnya seperti tidak ramah. Beberapa kali aku menelpon tidak pernah berhasil.

Suatu hari aku menyempatkan diri ngobrol dengan salah satu rekan yang baru saja bergabung dengan divisi kami. Kebetulan dia dari bagian pabrik.

“Pak Eman, dulu bapak di bagian pabrik kan?”

“Iya bu, kenapa?”

“di bagian mana?”

“Ya.. pernah di bermacam-macam bagian”

“Gini pak, bapak tau bagian mesin nggak? Saya ingin menghubungi teman saya di bagian mesin. Beberapa kali saya telpon, tapi tidak pernah ketemu. Apa bener-bener susah menghubungi orang di bagian itu? Bapak bisa nggak kapan-kapan anter saya ke sana?”

“Wah.. ibu jangan ke sana deh..! Tempatnya kotor, lagian orangnya kasar-kasar. Kalo ibu ingin mencari teman ibu, biar saya yang carikan. Tempat itu jarang didatangi perempuan, apalagi yang seperti ibu!”

“ah masa sii pak ada tempat seperti itu di perusahaan ini?:

“duh. Ibu ini.. , saya kan sudah 20 tahun di bagian pabrik, jadi saya tau persis kondisi di sana. Di bagian itu mah banyak orang yang berperilaku kasar, ada juga yang suka mabuk-mabukan, judi, dan sebagainya. Saya dulu pernah di bagian itu, tapi nggak betah bu!!”

“Kalo ibu pengen nyari temen ibu, biar saya yang carikan, siapa namanya? Nanti saya minta dia menghubungi ibu. Nelpon orang disana juga susah bu!! Tempat telpon sama tempat orang kerja itu jauh banget lokasinya. Kalo yang terima telponnya males, biasanya dia nggak mau manggil orangnya. Soalnya dia harus jalan lumayan jauh!!”

“Ooo gitu ya pak… saya nggak tau si.., tapi boleh deh, kapan-kapan aja bapak sempet. Temen saya ini namanya Erick, ini data-datanya. Kalo bapak bisa ketemu dia, tolong sampaikan, saya menunggu telponnya di pesawat saya, 3356. OK??”

“Iya bu.. nanti kalo saya ada kesempatan maen ke tempat itu, akan saya sampaikan”

Hm… aku masih penasaran, tapi aku mencoba menuruti saran dan mempercayakan semuanya ke pak Eman. Besoknya, dalam beberapa kesempatan, aku mencoba melintas ke bagian sisi pabrik. Biasanya aku hanya melewati gerbang depannya saja, tapi hari itu aku mencoba menyusuri bagian sisi dalamnya, untuk sekedar melihat suasana di dalamnya. Memang suasananya berbeda dengan bagianku. Ruangannya luas sekali, penuh dengan berbagai jenis mesin, bising, kotor dan pengap. Udara penuh dengan bau debu campur bau potongan metal. Orang berbicara berteriak-teriak untuk mengalahkan suara mesin. Pantess…!! Susah sekali menghubungi orang melalui telpon.

Tiba-tiba, suatu hari ada yang menelponku. Ternyata Erick!!

“Halo…ini Erick!!”

“Hai.. erick.. aduh. Akhirnya kamu nelpon juga..!! Kenapa kemaren nggak nelpon-nelpon”

“Nggak ah.. malu.. !!”

“Kamu terima pesanku?”

“Iya.. dari pak Eman, tadi pagi dia datang ke tempatku”

“Ooo, waktu itu aku pernah coba telpon berkali-kali, tapi nggak pernah berhasil, makanya aku titip pesen ke pak Eman!”.

“Disini orang-orang seperti aku nggak bebas nelpon atau terima telpon. Boss nya galak banget. Kalo kamu mau telpon aku, jangan ke pesawat yang itu, ke pesawat lainnya aja, nanti aku kasih nomornya. Di nomor yang satu itu orang-orangnya udah kenal, dan letaknya lebih dekat dengan tempatku. Emang ada apa??” Erick menjelaskan.

“Oooo, maaf aku nggak tau.. nggak.. nggak ada apa-apa koq.. pengen ngobrol-ngobrol aja.. udah lama nggak ketemu kamu jadi nggak tau ceritanya…! Eh.. aku baca di database kamu kerja disini sejak tahun sekian ya? Tapi kata database kamu masuk program pelatihan. Emang kamu nggak kuliah apa?”, aku membuka pembicaraan.

“Aduh.. kamu, aku jadi malu ditanya gitu!! Aku emang nggak kuliah dimana-mana, tamat SMA aku langsung masuk pelatihan dan langsung kerja disini”.

“ooo gitu.. kamu jadinya sma dimana? Aku kok nggak pernah denger cerita-cerita kamu lagi..”

“Ya.. kamu pasti tau lah.. !!”

“enggak.. aku nggak tau apa-apa lagi semenjak ketemu terakhir smp dulu..!! Eh.. aku boleh nanya sesuatu nggak?? Tapi jangan marah ya..!!”, aku jadi agak penasaran

“boleh!!”

“Dulu kan kamu suka pake narkoba tu.. gimana ceritanya??”

“emang kenapa kamu pengen tau cerita itu?”

“Enggak apa-apa, kebetulan ada sodaraku juga yang anaknya kena kasus kayak gitu, jadi aku pengen tau gimana caranya bisa lepas dari masalah itu”, aku menjelaskan.

“Ooo, kirain kamu mau ngadu-ngaduin aku ke personalia!”

“Enggak la…!!”

“Dulu kan aku nggak keterima masuk sma negeri, trus masuk sma swasta. Eh. Ternyata di SMA itu aku malah keterusan pake narkoba. Kelas 1 semester 2 aku dipindahkan sama kakek ke Tasik, dimasukin ke panti rehabilitasi gitu. Satu tahun aku disana. Alhamdulillah aku sembuh. Kemudian, atas jasa baik koneksi kakekku, aku bisa masuk SMA negeri lagi di Bandung. Nah.. tamat SMA aku disuruh kakek masuk ke pelatihan di perusahaan ini!”.

Wow, aku bergumam dalam hati, sakti juga kakeknya!! Kalo nggak sakti, masak sih bisa-bisanya anak yang udah kena narkoba, dikeluarkan dari satu SMA swasta, setelah rehabilitasi malah masuk SMA Negeri, dan hebatnya bisa keterima di program pelatihan tempat aku bekerja sekarang. Tapi ya, sudahlah…!! Kalo kakeknya nggak sakti, mana mungkin bisa menyelamatkan dia dari dunia kelam itu.

“Itu dia, kalo aku nggak ditolong ama kakekku, mungkin aku nggak bisa begini sekarang!”, seolah Erick bisa membaca jalan pikiranku.

“eh.. trus..trus.. kenapa pas tamat SMA kamu nggak kuliah?”

“ah kamu, kayak nggak tau aja. Narkoba itu udah merusak pikiranku, aku nggak bisa berfikir yang susah-susah!”

“Trus, kenapa lagi setelah tamat pelatihan kamu koq milih ditempatin di pabrik, kenapa nggak di bagian lain, computer, atau di bagian desain misalnya?”

“eh.. kamu juga nggak tau ya.., nggak semua orang di pelatihan itu bisa milih tempat sesuka hati. Hanya yang pinter-pinter yang bisa masuk bagian computer atau desain. Kalo kayak aku gini, bisa ditempatin aja udah sukur”

“Hus.. kamu nggak boleh begitu, mungkin emang maunya kamu aja!”

“Eh. Kamu nggak tau ya seperti apa tempat aku sekarang ini? Kamu pikir kenapa aku nggak mau nyapa kamu, meskipun tiap hari aku lihat kamu lewat di depan gerbang tempatku? Kamu pikir kenapa aku nggak bisa telpon kamu? Tempatku ini beda banget dengan tempat kamu. Itulah sebabnya aku nggak mungkin ke tempat kamu, malu, nggak level!!”

“eh.. kamu koq begitu! Kalo kamu segen ke tempatku, kita bisa ketemu di kantin!”

“Wah, bisa-bisa aku diejekin oleh temen-temenku!”

“Ya udah.. kalo kamu belum bisa ketemu sekarang, nggak apa-apa…! Kapan-kapan aku boleh ya main ke tempat kamu?”

“Jangan..!! Jangan!! Apalagi itu, cewek seperti kamu nggak bakalan mungkin ke tempat aku!”, Erick langsung melarang, bikin aku penasaran. Tapi sepertinya tidak bijak jika aku terus menekan dia soal pertemuan ini. Sepertinya dia tidak siap ketemu aku, sepertinya dia merasa tidak nyaman ketemu aku. Jadi aku tidak memperpanjang urusan ketemu-ketemuan ini.

“Ya sudah, kalo nggak boleh nggak apa-apa.., ngomong-ngomong kamu udah nikah blum? Tinggal dimana sekarang?”, aku mengalihkan pembicaraan.

“aku belum nikah, tinggal di kompleks perumahan itu tuh, berdua sama ibuku”

“O, adik-adik kamu dimana?”

“Udah pada nikah, ada yang di Tasik, ada juga yang di Jakarta!”

“Trus, satu pertanyaan ni.. , kamu tau dimana Boris berada sekarang?”, aku penasaran. Jawabannya mengagetkan aku..

“Tau, tuh di gedung sebelah gedung kamu!”

“O.. trus, apa pernah kamu menemui dia atau dia menemui kamu? Apa dia tau kamu kerja disini juga?”, aku berfikir, jadi benar juga gossip yang pernah aku dengar.

“nggak, aku nggak tau apa dia tau atau nggak tau aku kerja disini, tapi aku nggak ingin menemui dia”

“kenapa? Dulu kan kamu berteman?”

“sudahlah, itu masa lalu, lagian kalo aku sekarang nemuin dia, apa manfaatnya buat dia? Dulu juga dia tinggalin aku begitu aku terjatuh! Tapi aku nggak dendam koq, kan salah aku sendiri”

“Trus, apa kamu tau, apa dia juga masih seperti dulu?”, aku memancing

“Jual narkoba maksud kamu? Ya. Begitulah gossip yang aku dengar!! Tapi aku nggak pernah berurusan dengan dia lagi”

“Kamu nggak penasaran, atau pengen ngomong ke dia?”

“siapa aku siapa dia..? kayak kamu nggak tau aja?? Dia itu punya backing kuat di kantor ini, nggak kayak aku!!”

Tragis, aku berfikir dalam hati, kasian banget Erick, orang yang menjerumuskan dia bisa bertahta dengan nyaman pada posisi yang lebih tinggi, sementara Erick malah terjebak dalam posisi yang membuat dia tidak dapat leluasa berkembang. Apakah ini memang takdir? Atau akibat kesalahan masa lalu?

Selanjutnya aku beberapa kali menelpon Erick, melalui nomor lain yang pernah dia berikan, sekedar bertanya apa kabar dan sedikit berkonsultasi, meminta dia berbagi pengalaman bagaimana mengatasi anak yang terkena narkoba. Tapi pembicaraan kami hanya sampai disitu. Erick tidak pernah ingin menemuiku, tidak juga ingin bercerita panjang lebar mengenai berbagai masalah lainnya. Lama-lama aku melupakan Erick, tenggelam dalam kesibukan, tenggelam dalam duniaku sendiri. Tapi, dalam hati aku tetap mengenang Erick, sebagai pengalaman berharga, betapa fatalnya jika orang salah memilih teman. Bisa-bisa dia terperosok sendiri, sedangkan orang yang dianggapnya teman hanya tertawa dan meninggalkan dia sendiri dalam kubangan kesalahan yang terlambat disadari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar